PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA
BAB I
PENDAHULUAA. Latar Belakang Masalah
Allah
menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari‘at Islam sebagai
penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang
diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk
lainnya.[1]
Mengenai
hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab
II pasal 2 menyebutkan sebagai berikut: “perkawinan hukum Islam adalah
perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, kemudian
disebutkan dalam pasal 3, “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah”.[2]
Hal ini sesuai dengan firman Allah[3]:
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan Syari‘ah Islam menawarkan lima prinsip sebagai prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama saling mengenal dan memahami (at-Ta‘a>ruf) di
antara kedua mempelai. Dengan proses saling mengenal dan saling
memahami ini diharapkan masing-masing mempelai mengetahui keadaan calon
pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan bahwa kriteria yang harus
dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah kebaikan akhlak dan
agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik, harta dan
keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah
ini calon suami diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si
wanita dan juga diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran
masing-masing. Dari pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga ar-Ri<d}a> (kerelaan), disini
syari‘t Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata namun
juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua
mempelai. Keempat Kafa>’ah
yaitu kesejajaran antara kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada
kesenjangan di antara keduanya setelah mengarungi bahtera rumah tangga.
Kelima mahar atau mas kawin, dalam mahar ini syari‘at mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.[4]
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia.
Konsep
kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan,
karna persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status
hukum berbeda di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah
janda atau gadis. Mazhab Sya>fi‘i<
misalnya menyebutkan bahwa kalau persetujuan dari janda maka status
hukumnya adalah wajib. Lain halnya kalau persetujuan datangnya dari anak
gadis menurut ulama Sya>fi‘i<ah tidak begitu penting (hanya sekedar sunat), bahkan menurut ulama Sya>fi‘i<ah ketika
sudah memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang tua dalam hal ini
tidak perlu lagi meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan
2. Calon suami sekufu
3. Mahar yang sesuai
4. Calon suami sanggup memberikan mahar
5. Bukan dengan laki-laki yang membuatnya menderita dalam pergaulan[5]
Berbeda dengan mazhab Sya>fi‘i<, mazhab H}a>nafi< berpendapat bahwa antara status hukum persetujuan antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya wajib dimintai persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafi<ah
yang membedakan antara janda dengan anak gadis adalah pada tanda
persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup
dengan diamnya.[6]
Mazhab H}anbali< mensikapi persoalan ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh Ibn Quda>mah dalam kitabnya al-Mugni< menyebutkan
bahwa persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang menentukan artinya
bahwa tanpa adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah,
walaupun si anak gadis tidak menginginkan perkawinan itu, dan beliau
cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain Ibn
Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai
persetujuan ketika akan menikahkannya.[7]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut dalam karyanya Za>d al-Ma‘a>d berpendapat
bahwa orang tua wajib meminta persetujuan kepada anak gadis ketika akan
menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa
tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali
dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf dan mazhab H}a>nafi< serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.[8]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab H}anbali< mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna, tetapi beliau berani berbeda pendapat.
Melihat
konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman, yang mana
dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka
cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi
sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pakar dalam disiplin ilmu tertentu.
Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah Sya>fi‘i<ah
yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting
(sunnat), maka penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim
al-Jawziyyah ini sebagai pembahasan dalam karya ilmiyah untuk
alternatif.
B. Pokok Masalah
Dari deskripsi latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah pokok yaitu :
1. Bagaimana
pendapat dan apa yang menjadi landasan pemikiran Ibn Qayyim
al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan?
2. bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan konteks sekarang di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
Untuk mendeskripsikan tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan.
Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran Ibn Qayyim dengan konteks sekarang di Indonesia.
Kegunaan
a. Mengenalkan konsep berfikir Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pemikiran keIslaman.
b. Untuk
menambah khazanah keilmuan hukum Islam terutama tentang sejauhmana
relevansi pemikiran ibn qayyim al-jawziyyah dalam kaitan ini dikaitkan
dengan konteks sekarang.
D. Telaah Pustaka
Dari
hasil penelusuran yang dilakukan penyusun terhadap literatur yang
membahas tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah serta literatur yang
membahas tentang persetujuan anak gadis, dapat penyusun paparkan sebagai
berikut:
Karya
yang mengkaji pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah di antaranya, adalah:
“Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<‘ah dan Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”[9]
Oleh Sholahuddin Siregar. Karya ilmiah berupa skripsi. Dalam skripsi
ini, penyusun berkesimpulan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat sadd az|-z|ari<‘ah merupakan upaya menutup semua jalan yang membawa kepada kemudharatan. Pembahasan skiripsi ini hanya berbicara tentang konsep sadd az|-z|ari<’ah nya Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
“Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah”[10] oleh Ikmal Munthador, penyusun dalam skripsi ini menyimpulkan bahwa Ibn Qayyim Al-Jawziyyah berpendapat hiyal
yang menyebabkan sesuatu yang haram menjadi tampak halal, sesuatu yang
yang wajib menjadi tampak tidak wajib haruslah dicegah. Sementara Hiyal yang diakui Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah hiyal yang dikonfirmasi oleh nash. Skripsi ini hanya membahas konsep Hiyal menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Sedang
pada kajian persetujuan anak gadis dalam perkawinan, dari penelusuran
yang dilakukan penulis terhadap literatur yang ada belum ditemukan karya
ilmiah yang mengangkat secara khusus tentang tentang pembahasan ini.
Akan tetapi, memang ada sejumlah skripsi yang sekilas membicarakan
tentang tema ini di antaranya, “Ijbar dan Kebebasan Wanita Dalam
Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut”[11] oleh Mushtofa Kamal.skiripsi ini menggunakan maslahah yang berkonsentrasi pada hifz} an-nafs,
yang pada gilirannya skiripsi ini menyimpulkan bahwa memberikan hak
kepada perempuan untuk bebas memilih calon suamniya merupakan “harga
mati” yang tidak bisa ditawar lagi demi mewujudkan tujuan perkawinan itu
sendiri.
“Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah”[12]oleh
Niswatul Imamah. Skiripsi ini berusaha menggunakan maslahah sebagai
pisau analisisnya untuk membedah pemikiran Ibn Taimiyyah dengan
mengembalikan akar persoalan kepada otentisitas hadis. Salah satu babnya
berbicara tentang hak perempuan dalam memilih pasangan, menekankan
bahwa perempuan maupun laki-laki mempunyai hak yang sama dalam
menentukan pasangan.
Masalah
persetujuan anak gadis dalam perkawinan sendiri tidak pernah lepas dari
pembahasan buku fiqh klasik maupun modren, biasanya masalah itu dibahas
sebagian bagian dari topik wali dan belum menjadi topik yang mandiri,
kitab al-Umm[13] karya asy-Sya>fi‘i< dengan jelas menggambarkan hal ini, Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id mencoba menganalisis pendapat para imam mazhab tentang pembahasan ini[14]. Fiqih Lima Mazhab[15] oleh Muhammad Jawad Mughniyah. Karya ini memuat pandangan dari berbagai mazhab. Dari buku modren diwakili oleh buku Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I)[16],
ketika berbicara tentang wali, dalam salah satu sub babnya menyinggung
tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dengan mengutip
pandangan dari mazhab yang empat.
ketika
akan membahas lebih lanjut tentang persetujuan anak gadis menurut
pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, penulis menggunakan kitab yang
dikarangnya sendiri yaitu Za>d al-Ma‘a>d.
Ibn Qayyim dalam kitabnya tidak membahas secara khusus tentang
pembahasan ini, akan tetapi Ibn Qayyim memberikan satu pasal tentang
orang tua yang akan menikahkan putrinya, dengan membahas yang masih
gadis dan janda sekaligus.Walaupun dengan sumber yang sangat terbatas
untuk dijadikan rujukan penulis, namun penulis tetap optimis bahwa
pembahasan ini tetap layak dan menarik untuk dijadikan sebagai sebuah
kajian ilmiah.
E. Kerangka Teoritik
Syari‘ah
memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Pada
dimensi vertikal terkandung aturan yang mengatur hubungan antara manusia
dengan tuhan (ibadah), sementara pada dimensi horizontal syari‘ah
berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal
dengan isitilah muamalah.[17]
Muamalah menurut Ibn ‘Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mu‘a>wad}ah ma>liyah (hukum kebendaan), muna>kah}at (hukum perkawinan), muh}asanah (hukum acara), amanah dan ‘aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).[18]
Munakahat
sebagai bagian dari muamalah ketika diaplikasikan diawali dengan akad.
Akad adalah segala yang dilakukan oleh seseorang dengan iradahnya
(kehendaknya), dan syara‘ menetapkan kepada orang tersebut beberapa
natijah hak.[19]
Defenisi di atas menjelaskan, suatu akad dikatakan sah apabila dilakukan dengan kerelaan (tanpa paksaan) para pihak.
Syari‘ah juga mempunyai tujuan ketika dihadirkan di tengah-tengah manusia, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:[20]
وماارسلناك الارحمة للعالمين[21]
Para
ulama sepakat bahwa syari‘ah mengandung kemaslahatan untuk manusia.
Namun ulama berbeda pendapat tentang, apakah maslahah itu yang mendorong
Allah untuk mendatangkan syari‘ah?. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Ulama
yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat
kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy‘a>riyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya,[22] sebagaimana firman Allah:[23]
ان ربك فعال لمايريد
2. Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hambanya (yang
dianut oleh ulama kalam al-Mu‘tazilah) berpendapat bahwa memang untuk
kemaslahatan umat itulah Allah mendatangkan syari‘ah.[24]
Sejumlah
defenisi maslahah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, tetapi seluruh
defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghaza>li<
mengemukakan bahwa pada prisipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan
menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syari‘ah.[25]
Maslahah
yang dimaksud bukanlah sekedar maslahah yang didasarkan pada
pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, akan tetapi lebih
jauh bahwa sesungguhnya maslahah tersebut harus sejalan dengan tujuan
syari‘ah.[26] dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan syari’ah dan bukan kehendak manusia.[27]
Tujuan syari‘ah yang harus dipelihara itu, lanjut al-Ghaza>li<,
ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang intinya untuk
memelihara kelima aspek tujuan syari‘ah di atas, maka dinamakan
maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala aspek bentuk
mudharat yang berkaitan dengan kelima aspek tersebut juga dinamakan
maslahah.[28]
Wanita
dalam kerangka memelihara jiwa seharusnya diberikan kekuasaan atas
dirinya sendiri, misalnya bebas untuk kapan ia mau menikah, kapan mau
memilih pasangan, dan kapan ia akan mempunyai anak. Hal ini sesuai
dengan perumusan bahwa syari‘ah adalah apa yang disyari‘atkan Allah
dalam al-Qur’an dan Sunnah yang berupa suruhan dan larangan serta
petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[29]
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian dengan
cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan
mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang
mempunyai relevansi dengan materi pembahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis[30], yaitu
memaparkan konsep persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim
untuk kemudian menilai sejauhmana relevansi pemikiran beliau dengan
konteks sekarang.
3. Pengumpulan Data
Adapun
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan
menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai
relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah
hasil karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah yaitu Za>d al-Ma’a>d[31]. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber skunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang fikih munakahat di antaranya adalah kitab al-Umm karya ima>m asy-Sya>fi‘i<, Fiqih Lima Mazhab[32] oleh Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, , Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), oleh Khoiruddin Nasution.[33]
sedangkan
literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat
dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa buku,
majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya
4. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif[34] artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam.
5. analisis data.
Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif[35]. penyusun
berusaha menganalisa pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang
persetujuan anak gadis untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks
sekarang.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah
pembahasan skripsi ini, dan agar lebih sistematis dan konprehensif
sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan
sebagai berikut:
BAB I
merupakan pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan.
Bab I memuat Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Dan Kegunaan,
Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika
Pembahasan.
BAB II
setelah pada bab I diketahui arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya
penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada
bab ini memuat tentang keberadaan dan kepribadiannya-Riwayat Hidup-.
Penyusun juga menggambarkan Paradigma pemikiran hukum yang lebih
menekankan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika mengambil dasar
hukum.
BAB III mengupas secara umum tentang persetujuan anak gadis dalam proses perkawinan.
Hal ini diperlukan sebagai perbandingan antara pendapat Ibn Qayyim
al-Jawziyyah dengan ulama-ulama lain sehingga bisa dinilai pendapat
siapa sesungguhnya yang paling relevan untuk saat ini. Untuk mencapai
pemahaman yang utuh tentang pembahasan ini, maka pada bab ini juga
diangkat tentang kebebesan wanita dalam perkawinanan. Bab ini berisi
Dasar-Dasar Hukum Ulama yang menyangkut masalah pembahasan ini, dan juga
Pandangan mereka seputar hal ini.
BAB IV
setelah diuraikan pandangan beliau tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan dan gambaran umum dari ulama-ulama lain tentang pembahasan
ini, maka dalam bab ini penyusun melakukan Analisis Terhadap Pendapat
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang.
BAB V
sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi
kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini,
saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum
Islam di masa depan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS
DAN KEBEBASAN WANITA
A. Dasar hukum
Secara
umum bisa dikatakan bahwa ketika para ulama membahas tentang
persetujuan gadis dalam perkawinan, mereka biasanya menggunakan
hadis-hadis sebagai dasar hukum bagi kasus ini.
Ulama
terpisah menjadi dua pendapat ketika membahas kajian ini. satu pihak
menyatakan bahwa persetujuan gadis dalam perkawinan hanya sekedar sunat
atau penyempurna, sedangkan di pihak lain berpendapat bahwa persejuan
gadis dalam pernikah adalah wajib, artinya tanpa ada persetujuan darinya
perkawinan tidak sah.
Berikut
ini sejumlah hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang
menyatakan bahwa persetujuan si gadis hanya sekedar sunnat antara lain:
الايم احق بنفسهامن وليها البكرتستأذن فى نفسهاواذنهاصماتها
Hadis Ibn ‘Abba>s tersebut menjelaskan bahwa wanita ada dua golongan. Pertama janda dan kedua
gadis. Kekuasaan bapak gadis selaku wali terhadap kedua golongan ini
tidak sama. Permulaan hadis tersebut menegaskan bahwa janda lebih berhak
terhadap dirinya daripada walinya. Mafhu>m Mukha>lafah-nya adalah bahwa bapak lebih berhak terhadap diri gadisnya.[37]
Riwayat
yang menerangkan bahwa gadis diminta persetujuannya, hendaklah
diartikan bahwa hukum meminta persetujuan itu adalah sunat bagi bapak
sekedar membesarkan hati anak gadisnya dan wajib hukumnya bagi selain
bapak.[38]
عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها
Perkataan perawi hadis yang berupa “sedangkan ia janda” jelas suatu isyarat yang menunjukkan ‘illat
atau sebab dari penolakan (tidak diakui) rasul. Hal yang sebaliknya
adalah jika ia gadis maka perkawinannya akan diterima Rasul.[40]
ليس للولي مع الثيب امر واليتيمة تستأمر فصمتها اقرارها
Dalam hadis ini gadis yang tidak berbapak dan sudah dewasa dikatakan yati<mah dari segi باعتبرماكان menurut ilmu balaghah, karena istilah yati<mah adalah sebenarnya adalah term bagi anak yang tidak berbapak yang belum dewasa menurut arti yang hakiki.[42]
Perkataan تستأمر mernjadi qarinah karena orang yang belum dewasa tidak dianggap sah perintahnya dan haruslah kita menunggu sampai ia dewasa.[43]
Jadi, gadis yang tidak berbapak wajib diminta persetujuanya. Ini menunjukkan bahwa gadis yang berbapak tidak perlu bapak meminta persetujuannya.[44]
Adapun
hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa
seorang bapak wajib meminta persetujuan anak gadisnya ketika akan
menikahkannya adalah sebagai berikut:
لاتنكح الايم حتى تستأمرولاتنكح البكرحتى تستأذن
Dalam hadis Abu> Hurairah
ini, terdapat pengertian yang berupa larangan Rasul untuk menikahkan
gadis tanpa seizinnya, sebagaimana beliau menikahkan janda tanpa
seizinnya. Secara implisit hadis tersebut menjelaskan sahnya akad nikah
tergantung ada atau tidak persetujuan wanita yang akan dinikahkan.
Persetujuan tersebut bila dari janda berwujud ucapan sendangkan dari
gadis cukup dengan diamnya saja. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan
antara gadis dengan janda adalah terletak pada cara penyampaian
persetujuan itu sendiri.[46]
ان جارية) بكرا( اتت النبى صلى الله عليه وسلم فذكرت ان اباهازوجها وهى كارهة فخيرها النبى صلى الله عليه وسلم
Hadis
ini menceritakan suatu kasus pada masa Nabi di mana ketika itu seorang
gadis datang menghadap beliau untuk mengadukan bapaknya yang telah
menikahkannya tanpa persetujuannya. Terhadap kasus ini Nabi memberikan
kepada si gadis hak khiyar (kesempatan untuk memilih) karena
perkawinan dilangsungkan tanpa persetujuan si gadis. Hadis ini
menunjukkan bahwa seorang bapak tidak sah menikahkan anak gadisnya tanpa
persetujuannya.[48]
Wanita yang datang kepada pada hadis ini bukanlah Khansa>’ binti Khida>m wanita
yang disebutkan pada hadis sebelumnya yang memang sudah janda. Jadi,
ada dua wanita dengan status yang berbeda, yang pertama janda dan yang
kedua masih gadis. Akan tetapi Nabi memberikan perlakuan yang sama
terhadap kedua wanita itu.[49]
عن عائشة رضي عنها قالت قلت يا رسول الله يستأمر النساء في ابضاعهن قال نعم قلت فان البكر تستأمر فتستحيي فتسكت قال سكاتها اذنها
عن
عائشة ان فتاة دخلت عليها فقالت ان ابي زوجني ابن اخيه ليرفع بي خسيسته
وانا كارهة قالت اجلسي حتى ياتي النبي صلى اللهم عليه وسلم فجاء رسول الله
صلى اللهم عليه وسلم فاخبرته فارسل الى ابيها فدعاه فجعل الامر اليها فقالت
يا رسول الله قد اجزت ما صنع ابي ولكن اردت ان اعلم اللنساء من الامر شيء
Perkataan fata>tun dalam hadis Siti A<‘isyah
ini, diasumsikan sebagai wanita yang masih gadis. Demikian juga
perkataan wanita tersebut di depan Rasul yang berupa “tetapi aku hanya
ingin memberitahukan kepada para wanita bahwa bapak tidak mempunyai
suatu urusan (hak) apa pun “ jelas menunjukkan bahwa bapak tidak
mempunyai hak ijbar terhadap anak gadisnya, karena perkataan an-nisa>’ (para wanita) mencakup seorang wanita yang masih gadis.[52]
B. Pandangan Ulama-Ulama Fiqh
Ada
pemetaan menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang perbedaan pendapat
ulama tentang kebebasan wanita dalam memilih pasangan yang dapat dirinci
sebagai berikut:[53]
1. Para ulama sepakat bahwa untuk wanita janda diwajibkan ada persetujuannya.
2. Janda yang belum balig, menurut imam Ma>lik dan imam Ha>nafi<, wali boleh memaksanya untuk menikah, sedangkan menurut imam Sya>fi‘i< wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya.
3. Mengenai
gadis kecil para imam mazhab sepakat bahwa ia boleh dinikahkan tanpa
persetujuannya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang siapa yang
boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. Menurut Sya>fi‘i yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya adalah bapak dan kakeknya, sedangkan imam Ma>lik
mengatakan yang boleh hanya bapaknya saja atau orang yang mendapat
penyerahan dari bapak untuk melakukan akad itu jika calon suami telah
ditentukan bapak, dan pendapat imam Ha>nafi<
adalah setiap orang yang mempunyai hak wali terhadap si gadis boleh
menikahkanya walaupun tanpa persetujuannya, akan tetapi setelah dewasa
si anak gadis mempunyai hak khiya>r (memilih).
4. Ulama berbeda pendapat tentang persetujuan sendiri itu jika wanitanya gadis dewasa. Imam Ma>lik dan imam asy-Sya>fi‘i< berpendapat
persetujuan hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa
anak gadis untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sedangkan menurut
imam Ha>nafi< harus ada persetujuan dari si gadis.
Berikut diuraikan lebih lanjut pendapat empat mazhab tentang pembahasan ini.
a. Mazhab Ma>liki<
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih pasangan (calon suami), imam Ma>lik
membedakan antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan
dengan tegas sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yaang belum
dewasa yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak
sebagai wali dengan wali di luar bapak. Bapak sebagai wali menurut
beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya.[54] Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut imam Ma>lik karena
memang syara‘ mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang seperti
yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.[55]
Kemudian az-Zarqa>ni< menuliskan dua pandangan ‘Iya>d tentang pembahasan ini, pertama
bahwa wanita yang masih gadis, walinyalah yang lebih berhak dalam
menentukan persetujuan dalam perkawinannya, kedua, sedangkan wanita
janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya.[56] Kedua pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi[57]
الايم احق بنفسهامن وليها
Pendapat pertama, dengan mengambil mafhu>m mukha>lafah dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis Nabi:[58]
لانكاح الابوالي
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika membahas tentang persetujuan janda dalam perkawinannya, ulama mutaakhiri<n dalam mazhab Ma>lik terpecah kepada tiga kelompok, pertama. bapak boleh menikahkanya tanpa persetujuannya apabila perceraiannya terjadi sebelum ia dewasa, ini adalah pendapat Asyha>b. Kedua, bapak tetap boleh menikahkannya walaupun perceraiannya terjadi setelah ia dewasa, ini pendapat Sahnu>n. dan ketiga, bapak tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya baik perceraiannya terjadi sebelum atau sesudah ia dewasa, ini pendapat Abu>Tamma>m.[59]
b. Mazhab H}ana>fi
Menurut Abu H}ani<fah, persetujuan
wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan.
Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh
dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka
sendiri.[60]
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu H}ani<fah
adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan
seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak
tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa>’. dalam kasus ini, al-Khansa>’ menemui
dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan
bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu
Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” al-Khansa>’ menjawab
“ saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan
perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya
bersabda/berpesan “nikahlah dengan orang yang kamu senangi”.[61] al-Khansa>’
berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin
agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan
kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya.
Ditambah lagi oleh al-Khansa>’, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat sebelumnya.[62]
Kasus al-Khansa>’ ini
menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan
gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam
perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu
sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus
tegas.[63]
Imam H}ana>fi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran
Terbukti
bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan berakal sehat
boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak
ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang
pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu
dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahal mis|il. Akan tetapi kedua syarat
ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali
boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta q}}a>d}i< untuk membatalkan perkawinan itu.[64]
c. Mazhab asy-Sya>fi‘i<
Imam Sya>fi‘i< membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga,
janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima
belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini
menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis. Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakar yang menikahkan ‘A<isyah kepada Nabi, dan umur ‘‘A<isyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhu>m mukha>lafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Sya>fi‘i mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya[65], meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, berdasarkan firman Allah:[66]
وشاورهم في الامر
Dari penjelasan asy-Sya>fi‘i,
akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak
sebagai wali masih melebihi hak gadis. Kesimpulan ini didukung oleh
ungkapan asy-Sya>fi‘i sendiri yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ((فرض tetapi hanya sekedar pilihan ((اختيار.[67]
Adapun
perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada persetujuan yang
jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus
perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan
seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah lagi tanpa diminta
persetujuannya terlebih dahulu.[68] Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain.[69] Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ((احق بنفسها
berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan
tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.[70]
d. Mazhab H}anbali<
Dalam al-Mugni<, Ibn Quda>mah seorang
ulama besar dari mazhab ini mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijbar
wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita itu senang
atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Quda>mah sendiri cendrung berpendapat, bapak berhak memaksa anak gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak setuju.[71] Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah:[72]
واللائي يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلاثة اشهر واللائي لم يحضن
Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa ‘iddah seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan talak muncul karena nikah.[73] Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li< Nabi:[74]
عن عائشة قالت تزوجني النبي صلى اللهم عليه وسلم وانا بنت ست سنين وبنى بي وانا بنت تسع سنين
Menurut ibn Quda>mah,
disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa,
hadis ini juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu> Bakr (bapak/wali) kepada ‘A<isyah.
Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid, menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang perlu tidaknya persetujuan wanita dalam perkawinannya bermuara pada ‘illat yang dipakai oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua ‘illat yang dipakai ulama sebagai dasar argumennya yang masing-masing ‘illat mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. ‘Illat yang dimaksud adalah kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.[75]
Ulama yang menggunakan ‘illat
kedewasaan wanita sebagai dasar argumentasi, maka konsekwensi hukumnya
adalah wanita dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah oleh siapa pun
dan persetujuannyalah yang menentukan sah tidaknya suatu akad nikah.‘illat inilah yang digunakan oleh imam H}ana>fi.[76]
Ulama yang menggunakan ‘illat
kegadisan wanita, maka konsekwensinya adalah gadis dewasa boleh dipaksa
walinya (bapak) untuk menikah. Jadi persetujuannya bukanlah sesuatu
yang menentukan. Imam Sya>fi‘i menggunakan ‘illat ini.[77]
Ada yang menggunakan kedua ‘illat tersebut sebagai satu kesatuan tanpa dipisah-pisah. Dengan kata lain, apabila ‘illat
kebelumdewasaan dan kegadisan masih melekat pada diri seorang wanita
maka ia tetap bisa dipaksa untuk menikah. Menurut pendapat ini,
persetujuan seorang wanita menentukan dalam perkawinannya ketika ia
sudah berstatus janda dan dewasa. ‘Illat digunakan oleh imam Ma>lik.[78]
BAB III
IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS
A. Riwayat Hidup
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, nama populer untuk Syams ad-Di<n abu> ‘Abdillah Muhammad bin Abi> Bakr bin Ayyub bin Sa‘ad bin Haris| az-Zar‘i ad-Dimasyqi[79]. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dilahirkan di Damaskus pada tanggal 7 Syafar 691 H. bertepatan dengan 29 Januari 1292 M. dan wafat[80] pada tanggal 13 Rajab 751 H. bertepatan dengan 1350 M.[81]
Ibn Qayyim al- Jawziyyah
hidup dilingkungan ilmiah yang sempurna. Beliau mengabdikan dirinya
sepenuhnya untuk pengembangan ilmu, sehingga banyak karya intelektualnya
dapat dijadikan sumber ilmu.[82] Nama al-Jawziyyah [83] sendiri diambil dari satu sekolah yang dibangun oleh Muh}yy ad-Din bin H}a>fiz bin Abu> Farj Abdul ar-Rah}i<m al-Jawzi, yang mana ayah Ibn Qayyim al- Jawziyyah adalah salah satu pengurus (qayyim) di dalamnya.[84]
Ibn Qayyim al- Jawziyyah sangat mencintai ilmu, maka tidak heran kemudian kalau beliau mempunyai sejumlah guru[85],
diantaranya Ibn Taimiyyah. Beliau berguru pada Ibn Taimiyyah sejak 712
H. setelah sang guru datang dari Mesir. Pikiran dan ide-ide Ibn
Taimiyyah sangat mempengaruhi Ibn Qayyim al- Jawziyyah.
Beliau bahkan menempuh jalan yang dilakukan oleh gurunya itu dalam
memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama. Meskipun beliau sangat
mencintai dan menghormatinya gurunya, tetapi tidak jarang beliau
berbeda pendepat dengannya, jika menurutnya sesuatu itu benar dan jelas
dalilnya.[86]
Berkat kedalaman dan keluasan ilmunya Ibn Qayyim al- Jawziyyah[87] yang sebagian besar diperoleh dari gurunya Ibn Taimiyyah beliau kemudian dijuluki Syaikh al-Isla>m yang kedua setelah gurunya tersebut.[88]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah berusaha mengajak orang kembali berpegang kepada al-Qur’an dan as-sunnah sebagaimana ulama Salaf dan mengajak meninggalkan perbedaan pertikaian mazhab. Juga Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengajak bebas berfikir
dan memerangi taklid buta. Usaha dan ajakan itu tidak hanya dibidang
Ilmu Kalam, tapi juga di bidang Fiqh dan Tasyawuf.
Dalam masalah Fiqh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sekalipun mengikuti aliran Ahmad bin H}anbal, namun juga mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan paham Ahmad bin H}anbal.
Beliau termasuk priode keenam, priode ini ditandai dengan meluasnya
faham fanatik dan taklid kepada ulama-ulama mujtahid yang empat,[89] tetapi Ibn Qayyim al-Jawziyyah menolak taklid dan membuka pintu ijtihad serta kebebasan berfikir.[90]
Pada
dasarnya pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersifat
pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang Tasawuf. Ibn Qayyim
al-Jawziyyah menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya
yaitu al-Qur’an dan as-sunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan.
Ajaran-ajaran Tasawuf seharusnya memperkuat Syari‘at dengan itu beroleh
kesegaran dan penghayatan hakiki yang tumbuh dari kedalaman batin
manusia.[91]
Karir
Ibn Qayyim al-Jawziyyah sangat sederhana dan selalu dihalang-halangi
oleh golongan oposisi, sebagaimana Neo-Hanbalisme yang dikembangkan oleh
Ibn Taimiyyah juga ditentang oleh kalangan pemerintah.[92]
Banyak ulama yang mempunyai keutamaan pada masa hidup Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang belajar kepadanya[93] dan memanfaatkan karya-karyanya.[94]
Gelora
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang tegas dengan berpegang kepada
al-Qur’an dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bid‘ah dan
khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi
masyarakat dimana Ibn Qayyim al-Jawziyyah hidup.[95]
Di timur Hulaghu Khan datang mengobrak–abrik umat Islam dan dari barat
kekuatan-kekuatan yang membentuk perang salib, sementara Aqidah dan
pemikiran umat Islam dalam keadaan beku (jumud) dibalut oleh lumpur taklid, khurafat dan bid‘ah.[96]
Pendapat
yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu Ijtihad telah
ditutup dan diterima secara umum di zaman tersebut. Disamping itu,
pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan meluas di dunia Islam.
Demikianlah kehidupan yang melanda orang Islam pada masa itu, penuh
dengan bentrokan fisik dan perpecahan sesama mereka, disebabkan mereka
menyimpang dari ajaran agama.
Keadaan seperti ini membutuhkan terjadinya perubahan dan
pembaharuan kesempatan seperti inilah yang paling tepat untuk mengajak
dan mengarahkan bangsa kembali kepada ajaran Islam. Kondisi tersebut
mendorong Ibn Qayyim al- Jawziyyah
untuk menegakkan dakwah perdamaian, mempersatukan paham Aqidah dan
Fiqh, membuang pertikaian sesama orang Islam serta membuka kembali pintu
ijtihad dengan tetap berpegang kepada al-Qur’an dan as-sunnah.
B. Paradigma Pemikiran Ibn Qayyim al- Jawziyyah
1. Dasar-dasar hukum
Dalam karyanya yang berjudul I‘lam al-Muwaqqi‘i<n dijelaskan, ada tujuh sumber hukum yang dipakai Ibn Qayyim al-Jawziyyah ketika mengistinba>tkan hukum dari suatu kasus yang ditemuinya. Sumber-sumber hukum tersebut adalah: pertama, nash al-Qur’an dan as-sunnah; kedua, ijma‘; ketiga, fatwa shahabat; keempat qiyas; kelima, istis}h}a>b; keenam ‘urf ; dan ketujuh sadd az|-z|ari<‘ah.
a. Nash
Nash yang dimaksud oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah
adalah teks-teks al-Qur’an dan as-sunnah. Menurutnya seorang ahli hukum
jika menemukan suatu persoalan yang menghendaki pemecahan hukum, maka
pertama-tama ia harus mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash.
Apabila ia mendapatkan nash, maka wajib menetapkan hukum berdasarkan
nash tersebut.[97] Untuk memperkuat pandangan tersebut Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengemukakan bukti dalam al-Qur’an sebagai berikut:[98]
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة اذا قضى الله ورسوله امرا ان يكون لهم الخيرة من امرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang mukmin tidak dibenarkan
mengambil alternatif hukum yang lain sesudah Allah dan Rasulnya untuk
menetapkan hukum, dan barang siapa mengambil alternarif lain, maka ia
berada dalam kesesatan yang nyata.[99]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah mendahulukan teks-teks Hadis sebagai dasar/sumber hukum daripada Ijma‘, ra’yu, maupun qiyas ( analogi).[100]
Selanjutnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan posisi as-sunnah terhadap al-Qur’an yang menurutnya ada tiga fungsi, yakni: pertama, as-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an; kedua, as-sunnah menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus tafsir baginya; dan ketiga as-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum[101].
b. Ijma‘
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam
menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan kata ijma‘ sesuai
ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya. Ia
bekata:[102]
لااعلم شيئايدفعه
c. Fatwa Shahabat
Mayoritas
ulama mengakui fatwa Shahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari
golongan Salaf, dan fatwa-fatwa para Shahabat.[103] Fatwa mereka lebih utama daripada fatwa ulama kontempoter.[104] Karena fatwa para Shahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup Rasul. Imam asy-Sya>fi‘i< dalam qawl qadi<m seperti dikutip al-Baihaqi<, mengatakan bahwa semua Shahabat berada di atas kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara’, dan intelektualnya. Menurutnya pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita secara keseluruhan.[105]
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah pandangan tersebut didasarkan pada firman Allah:[106]
والسابقون
الاولون من المهاجرين والانصار والذين اتبعوهم باحسان رضي الله عنهم ورضوا
عنه واعد لهم جنات تجري تحتها الانهار خالدين فيها ابدا ذلك الفوز العظيم
d. Qiyas
Pada
firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup setelah mati
kepada terjaga (bangun) setelah tidur, dan membuat beberapa perumpamaan,
serta menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiya>s aqli<,
dimana Allah ingin mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat diterapkan
kepada kasus lain yang serupa. Perlu diketahui bahwa qiyas yang dipakai
oleh Ibn Qayyim al- Jawziyyah dalam proses pengambilan kesimpulan (dalil) terbagi dalam tiga bagian, yaitu: Qiya>s ‘Illat, Qiya>s Dala>lah, dan Qiya>s Syabah.[107]
1) Qiyas ‘Illat
Qiyas ini terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya sebagai berikut:[108]
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الارض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
Ayat
ini menjelaskan – sebelum kamu terdapat umat-umat seperti kamu, maka
perhatikanlah keburukan yang menimpa mereka, akibat mereka mendustakan
ayat Allah dan para Rasul-Nya – umat sebelum kamu adalah as}al (pokok), sedangkan kamu adalah far‘un (cabang), sedangkan ‘illat (alasan ) yang mengumpulkan adalah kedustaan, hukumnya adalah kehancuran (kebinasaan).
2) Qiya>s Dala>lah
Yang dimaksud dengan qiya>s dala>lah adalah mengumpulkan antara sumber pokok dengan cabang berdasarkan petunjuk ‘illat (alasan). Firman Allah yang menjelaskan tentang adanya qiya>s dala>lah:[109]
ومن اياته انك ترى الارض خاشعة فاذا انزلنا عليها الماء اهتزت وربت ان الذي احياها لمحيي الموتى انه على كل شيء قدير
Allah
menunjukkan kepada hamba-hambanya dengan sesuatu yang dapat dilihat
oleh mereka dalam kehidupan nyata untuk melihat kehidupan yang lebih
jelas. Hal ini merupakan qiyas (analogi) kehidupan kepada kehidupan, dan mengungkapkan sesuatu dengan yang menyetarainya.sedangkan ‘illat(alasan)nya adalah kesempurnaan kekuasaan dan hukum Allah, sedangkan menghidupkan bumi merupakan petunjuk (dali>l) yang menunjukkan ‘illat.
3) Qiya>s Syabah
Qiyas
jenis ini tidak digunakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah karena Allah
hanya menggunakannya dalam menceritakan orang-orang yang berbuat
kebatilan dan juga al-Qur’an mamakainya dalam rangka penolakan atau
untuk mencela seperti halnya analogi yang diambil oleh orang Musyrik.
e. Istis}h}a>b
Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan dasar hukum ini, walaupun ulama berbeda pendapat dalam masalah Istis}h}a>b. Beliau membaginya dalam tiga bagian, yakni:[110] Istis}h}a>b Bara>‘ah al-As}liyyah, Istis}h}a>b as}-si}fah, dan Istis}h}a>b Hukm al-Ijma>‘
1) Istish}a>b Bara>’ah al-As}liyyah
Arti lughawi al-bara>‘ah adalah “bersih”. Dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-as}liyah
yang secara lughawi artinya: “menurut asalnya”, dalam hal ini maksudnya
adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang
menetapkan hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari
beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya
beban hukum atas orang tersebut.[111]
2) Istis}h}a>b as}-si}fah
Istis}h}a>b bentuk
kedua mengandung arti mengukuhkan berlakunya satu sifat yang pada sifat
itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau
melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan
berubah hukum, atau sampai ditetapkan hukum pada masa berikutnya yang
menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.
3) Istis}h}a>b Hukm al-Ijma>‘
Istis}h}a>b bentuk ketiga mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma‘
ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai
hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.
f. Sadd az|-Z|ari<‘ah
Beliau membagi az|-z|ari<‘ah dalam empat bagian dengan memandang akibat yang ditimbulkan : pertama, az|-z|ari<‘ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang mengakibatkan kerusakan akal, kedua, az|-z|ari<‘ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan yang merusak, seperti nikah muhallil, ketiga az|-z|ari<’ah yang
semula ditentukan untuk mubah, namun biasanya sampai juga kepada
kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya, seperti
berhiasnya seorang peremupuan dalam masa ‘iddah., dan keempat, az|-z|ari<‘ah yang
semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada
kerusakan, sedangkan kerusakannya jauh lebih kecil dibanding
kebaikannya, seperti melihat wajah perempuan saat dipinang.[112]
g. ‘Urf
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam berbicara ‘urf jarang mengungkapkan metodologi ‘urf itu sendiri, beliau hanya menyebutkan adanya dalil :
العرف كالشرط اللفظ
Yakni syarat yang berdasarkan ‘urf (tradisi) adalah seperti syarat yang berdasarkan pada lafaz
2. Metode Istinba>t Hukum
Metode yang beliau pakai semuanya diwarnai dalam tulisan-tulisan, baik yang tertuang dalam kitabnya I‘lam al-Muwaqqi‘i<n
secara khusus, maupun yang lainnya yang bercorak hukum. Bahkan secara
umum juga terlihat dalam tulisan yang becorak Aqidah bahkan, Filsafat
dan Tasawuf.
Secara keseluruhan langkah dan metode yang dipakai beliau dalam pembahasan fiqh yaitu:
a. Mengemukakan Nash kemudian megeluarkan hukumnya tanpa memandang pendapat Fuqaha’
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam metode pembahasannya berbeda dengan Fuqaha’ sebelumnya dimana Fuqaha’ biasanya
mengemukakan masalah-masalah kemudian mengaitkan dengan dalil. Ibn
Qayyim al-Jawziyyah mempergunakan nash sebagi dasar pembahasannya
kemudian beliau mengeluarkan hukumnya.
b. Mengemukakan pendapat ulama tanpa fanatik kemudian menukilnya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak cukup dengan nash juga mengikuti pendapat Fuqaha’ dalam menetapkan pilihan seperti dicontohkan dalam pemeliharan anak (h}ad}anah)[113]
c. Mengemukakan dalil yang sesuai dan tidak sesuai menurutnya.
Ibn
Qayyim al-Jawziyyah dalam masalah khilafiyah tidak cukup hanya
mengemukakan pendapatnya disertai dalil-dalil tetapi juga mengemukakan
dalil-dalil orang yang membantah pendapatnya kemudian beliau mengomentari pendapat orang tersebut.[114]
d. Tidak menyamakan atau mengambil dalil al-Qur’an saja tetapi dilengkapi dengan Hadis
Hal ini dilakukan supaya jangan terjadi pengada-adaan terhadap yang bukan ditujukan nash.
3. Anak Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Persperktif Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Wanita dalam istilah arab terbagi menjadi dua status yakni anak gadis (al-bikr) dan janda (as|-s|ayyib). Kedua status tersebut mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda dikalangan fuqaha’.
Pada
dasarnya anak gadis dalam pandangan dari penelurusan penulis, Ibn
Qayyim al-Jawziyyah tidak berbeda dengan pendapat umum yang berlaku.
Yaitu wanita yang belum menikah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut
membagi anak gadis menjadi dua macam status yaitu anak gadis yang sudah
balig dan anak gadis yang belum balig.[115] Dalam kajian ini penyusun membatasi pembahasan pada bagian anak gadis yang sudah balig.
Seperti
biasanya bahwa ketika Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat tentang
sesuatu hal, maka langkah pertama yang beliau lakukan adalah mengemukan
sejumlah dalil, kemudian mengambil hukum dari dalil tersebut.
Di dalam kitabnya yang berjudul Za>d al-Ma‘a>d
sebelum berbicara tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan ada
sejumlah hadis yang beliau angkat, seperti tertulis dalam bukunya Za>d al-Ma‘a>d yaitu:
ثبت عنه فى الصحيحين : " عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها"[116]
وفى السنن من حديث ابن عباس :"ان جارية) بكرا( اتت النبى صلى الله عليه وسلم فذكرت ان اباهازوجها وهى كارهة فخيرها النبى صلى الله عليه وسلم[117] وهذه غيرخنساء فهماقضيتان قضى فى احداهمابتخيير الثيب وقضى فى اللاخرى بتخييرالبكر"
وثبت عنه فى الصحيح انه قال : "لاتنكح البكرحتى تستأذن قالوا : يارسول الله وكيف اذنها قال: ان تسكت"[118]و صحيح مسلم: البكرتستأذن فى نفسهاواذنهاصماتها"[119]
Dari rangkaian nash di atas Ibn
Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa hukum yang diambil dari sana
adalah seorang gadis yang sudah dewasa tidak boleh dipaksa untuk
menikah, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya.
Inilah pendapat jumhur Salaf dan mazhab Abu H}anafi< serta satu riwayat dari imam Ah}mad.
Juga pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah SAW., baik dalam
bentuk perintahnya maupun larangannya, atau dalam kaidah-kaidah syari‘ah maupun kemaslahatan umatnya.[120]
Beliau
menuliskan dalam kitabnya bahwa pendapat yang sesuai dengan hukum
Rasulullah adalah diberikannya hak memilih bagi anak gadis yang tidak
ingin untuk menikah. Hadis ini diriwayatkan secara mursal bukan karena
adanya ‘illat, melainkan memang memilik status musnad dan mursal. Bila mengikuti pendapat Fuqaha’ : bahwa menjadikan status hadis ini merupakan ziyadah (tambahan), maka orang yang menjadikan hadis tersebut muttas}il jelas lebih didahulukan daripada yang menjadikannya berstatus mursal.
ini merupakan hal yang wajar terjadi dalam tradisi Hadis. Bila menilai
Hadis tersebut mursal seperti sebagaian besar ahli Hadis, memang hadis
tersebut benar-benar berstatus mursal. Akan tetapi didukung Hadis shahih lain, qiyas dan kaidah-kaidah
syara‘ sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dengan demikian,
pendapat di atas dapat dirumuskan dalam kategori berikut ini:[121]
Pendapat yang menjelaskan bahwa persetujuan anak gadis wajib sesuai dengan perintah Nabi adalah sabda beliau:[122]
البكرتستأذن
Pernyataan ini adalah perintah yang jelas, karena berbentuk khabar (berita) yang berfungsi memperkuat apa yang diberitakan dan menegaskannya. Hukum asalnya bahwa perintah menunjukkan lil wuju>b (keharusan), selama tidak ada ijma‘ yang bertentangan dengannya.[123]
Pernyataan yang menjelaskan bahwa pendapat di atas sesuai dengan larangan Nabi adalah sabda beliau:[124]
لاتنكح البكرحتى تستأذن
Di
dalam hadis ini terkandung perintah, larangan, sekaligus hukum
kebolehan untuk memilih. Penetapan hukum ini merupakan cara yang paling
tepat.
Kewajiban
persetujuan anak gadis sesuai dengan kaidah-kaidah syara‘ adalah
seorang gadis yang sudah dewasa dan mampu berpikir matang, sang ayah
tidak diperkenankan menggunakan harta miliknya meski sedikit kecuali
atas persetujuannya. Seorang ayah tidak diperkenankan memaksa anak
gadisnya tersebut supaya ia mengeluarkan hartanya meski sedikit tanpa
mendapat persetujuannya. Bagaimana mungkin sang ayah diperbolehkan
mengeluarkan harta yang paling berharga bagi anak gadisnya tanpa melalui
persetujuannya kemudian memberikannya kepada seorang laki-laki
pilihannya, sementara si gadis tidak menginginkan laki-laki tersebut.
Sudah
pasti bahwa menggunakan seluruh harta sang gadis tanpa persetujuannya
itu lebih ringan baginya daripada harus dipaksa nikah dengan seorang
laki-laki yang bukan pilihannya sendiri. Pernyataan ini sekaligus
menegaskan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa bila sang gadis
mensyaratkan harus sekufu' kemudian sang ayah memenuhinya, maka yang
dijadikan sandaran hukum adalah persyaratan yang diajukannya, meski
laki-laki tersebut tidak disukainya atau bahkan buruk budi pekertinya.[125]
Kewajiban
persetujuan anak gadis sesuai dengan kemaslahatan ummat adalah jelas
sekali bahwa menikahkan janda merupakan kemaslahatan tersendiri baginya
karena sesuai dengan keinginannya dan ia rela. Dengan perkawinan itu si
janda dapat mencapai tujuan nikah sekaligus terhindar dari kemafsadatan
karena telah ditinggal oleh mantan suaminya.[126]
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas, Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak hanya menyodorkan pendapatnya an sich akan tetapi beliau juga mengemukakan pendapat yang berseberangan. Lebih lanjut dapat dilihat dalam kitabnya Za>d al-Ma‘a>d
tentang hal ini, golongan yang berbeda pendapat dengan beliau berkata
bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum secara berbeda antara
wanita janda dan gadis, sebagaimana sabda beliau:[127]
ولاتنكح الايم حتى تستأمرولاتنكح البكرحتى تستأذن
Sabda Nabi yang lain:[128]
الايم احق بنفسهامن وليهاوالبكريستأذنها ابوها
Bila
dalam kasus seorang janda, ia lebih berhak atas dirinya ketimbang
walinya sendiri, sementara dalam kasus seorang gadis, sang ayah lebih
berhak atas dirinya. Jika tidak demikian, tentu tidak ada makna yang
khusus bagi seorang janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi
membedakan antara keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk
persetujuannya adalah dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk
persetujuan bagi seorang gadis adalah dengan diam. Semua ini menunjukkan
atas ketiadaan dipandang persetujuan dari seorang gadis, sehingga tak
ada wewenang baginya bila bersama sang ayah.[129]
Maka
jawaban yang diajukan adalah bahwa tidak ada satu dalil pun yang
menunjukkan kebolehan sang gadis dinikahkan tanpa melalui
persetujuannya, sementara ia sendiri sudah memasuki usia dewasa dan
mampu berpikir matang. Dan pendapat lain yang menyatakan bahwa seorang
ayah boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki yang tidak
disenanginya sekalipun, bila laki-laki itu sekufu', ditolak dengan jelas
oleh hadis-hadis yang dijadikan sandaran hukum bagi pendapat ini. Tidak
ada dalil yang lebih kuat dari pada hadis Nabi SAW berikut ini.[130]
الايم احق بنفسهامن وليها
Hadis ini dapat dipahami dengan jalan mafhu>m mukha>lafah. Pendapat yang menyatakan bahwa boleh menikahkan gadis tanpa persetujuannya biasanya menggunakan Hadis ini sebagai hujjah. Seandainya mereka mengajukan Hadis ini sebagai hujjah, maka tidak boleh mendahulukannya atas mant}u>q as}-s}ari<h} (bunyi nash yang sudah jelas). Bila dikatakan bahwa Hadis ini dipahami dengan mafhu>m mukha>lafah seperti disinggung di atas, dan dalam mafhu>m mukha>lafah terkandung makna yang umum. Maka yang benar, dalam mafhu>m mukha>lafah tidak terkandung makna umum, apabila ada dalil yang terkandung di dalamnya mengarah pada pengertian bahwa takhs}is} (mengkhususkan), yakni menegaskan hukum selain takhs}i<s} itu sendiri. Sudah jelas bahwa pembagian hukum selain takhs}i<s}
ke dalam dua kategori; penetapan hukum dan penegasannya, juga
terkandung faedah. Penetapan hukum lain terhadap perkara yang didiamkan
juga terkandung faedah, meski di sana tidak terdapat kebalikan dari
hukum mant}u>q (bunyi nash). Upaya untuk memerinci hukum tersebut juga terkandung faedah. Coba renungkan sabda Nabi SAW:[131]
والبكريستأذنها ابوها
Setelah sabdanya:
الايم احق بنفسهامن وليها
Pasti untuk menentang pendapat yang menyatakan bahwa Seorang
gadis boleh dinikahkan tanpa persetujuan dan izinnya, seolah ia tidak
punya wewenang sama sekali terhadap dirinya sendiri. Sehingga kedua
Hadis di atas dapat dipertemukan demi menghindari terjadinya kekeliruan
pemahaman. Jadi jelas bahwa meski seorang janda lebih berhak atas
dirinya daripada walinya sendiri, bukan berarti bahwa seorang gadis
tidak memiliki wewenang atas dirinya.[132]
Lebih
lanjut Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW
memberikan keputusan hukum tanda persetujuan seorang gadis adalah dengan
diam, sedangkan tanda persetujuan seorang janda adalah dengan
mengungkapkan persetujuannya secara langsung. Bila seorang gadis
memberikan persetujuannya dengan mengungkapkan melalui kata-kata, itu
lebih kuat status hukumnya. Untuk mendukung pendapat ini Ibn Qayyim
al-Jawziyyah juga mengutip pendapat Ibn H}azm,
beliau berkata: “Tidak sah menikahkan seorang gadis kecuali ia diam”.
Pendapat inilah yang sesuai dengan kenyataan zahiriyahnya.[133]
_____( Bersambung.....
BIOGRAFI TOKOH
Asy-Syātibī
Nama lengkapnya adalah Abū Ishāq Ibrāhīm bin Musā Muh}ammad al-Lakhmī asy-Syātibī
al-Garnādi. Ia belajar di Branada, yakni kota kerajaan Bani Nasr.
Beliau sangat selektif terhadap kitab-kitab yang dikajinya dan fanatik
dengan kitab-kitab sehingga mengesampingkan buku-buku karya ulama'
sesamanya. Di samping itu, beliau juga banyak mengkaji karya-karya
al-Juwaini, al-Gazali, ar-Rāzī, al-Qarāfi, dan lain-lain. Ia meninggal
dunia pada hari senin 8 Sya‘ban 790 H, yang bertepatan pada ranggal 30
Agustus 1388 M. di antara karya-karyanya yanga terkenal ialah al-Muwa>faqah dan al-I'tis}a>m
Hamka
Nama
lengkapnya ialah Haji abdul Karim Amrullah, ia merupakan ulama' yang
produktif dalam menulis dan mubalig besara yang berpengaruh di Asia
Tenggara. Beliau lahir pada tanggal 16 Pebruari 1908 di Maninjau
Sumatera Barat. HAMKA merupakan ketua MUI yang pertama, di samping itu
beliau juga seorang pujangga yang banyak mengarang buku-buku roman, di
antaranya ialah: Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelumnya ia menulis: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Merantau di Deli, serta biografi orang tuanya dengan judul: Ayahku (1949).
HAMKA adalah salah satu seorang yang banyak meninggalkan karya-karya
bagi bangsa Indonesia, terhitung di antara judul buku yang dituliskannya
lebih kurang 118 buah. Pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta ia
menghembuskan nafas terakhir. Buku-buku atau kitab-kitabnya yang paling
terkenal dan dikutip oleh sarjana-sarjana (kaum intlektual), yaitu kitab
Tafsir al-Azhar yang telah ditulisnya sebanyak 30 jilid
bn Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu< al-Wali<d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rusyd, lahir di Cordova, Andalusia pada tahun 520 H/1126 M dalam sebuah keluarga
yang terkenal sebagai pakar hukum Islam. Ayahnya, kakeknya, malah ibn
Rusyd sendiri terkenal sebagai pakai hukum Islam pada masanya. Diantara
karya-karyanya yang terkenal antara lain adalah Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, buku ini mengangkat persoalan hukum Islam, kemudian buku al-Kulliyah fi< At}-T}ib,
yang membicarakan seputar medis. Beliau termasuk di antara para
pendukung kebebasan kehendak. Tapi menurutnya, kebebasan ini ada
batasnya. Sebab, manusia dan mahkluk tunduk di bawah hukum alam yang
diciptakan Allah. Beliau wafat dalam usia 71 tahun, pada tahun 595
H/1198 M.
Imām asy-Sya>fi‘i<
Imam Syafi'i nama lengkapnya ialah Muh}ammad bin Idrīs asy-Sya>fi'ī al-Quraisyi, ia dilahirkan di Gazza pada tahun 150 H. bertepatan dengan wafatnya imam Abu> Hani>fah. Beliau dikenal sebagai pendiri mazhab Sya>fi'i<. Imam Syafi'ī
berasal dari keluarga yang tidak mampu dan dibesarkan dalam keadaan
yatim. Sejak kecil beliau giat mempelajari hadis dari ulama' hadis yang
ada di Makkah, dan disaat usianya yang belum balig ia telah hafal
Al-Qur'an. Ketika berumur 20 tahun ia meninggalkan kota Makkah, guna
mempelajari ilmu fiqh dari imam Mālik kemudian setelah itu ia pergi ke
Iraq untuk mempelajari ilmu fiqh dari murid imam Hanafī. Setelah imam
Mālik meninggal dunia beliau pergi ke Yaman, di sana ia menetap dan
mengajarkan ilmunya. Tak lama setelah itu ia kembali ke Makkah dan
mengajar rombongan jama'ah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Karya-karya beliau yang termasyhur ialah kitab al-Umm dan ar-Risa>lah yang merupkan karyanya yang monumental dalam bidang usul fiqh.