HIDUP DALAM KEMULIAAN, DAN MATI SYAHID-DIJALANNYA
Home » » PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA

PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA

Senin, 11 Agustus 2014 | 0 komentar

PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA


                                                                     BAB I
                                                           PENDAHULUA
 A.  Latar Belakang Masalah
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari‘at Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.[1]
Mengenai hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 menyebutkan sebagai berikut: “perkawinan hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, kemudian disebutkan dalam pasal 3, “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah”.[2]
Hal ini sesuai dengan firman Allah[3]:
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك لآيات لقوم يتفكرون

Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi.
 Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan Syari‘ah  Islam menawarkan lima prinsip sebagai prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama saling mengenal dan memahami (at-Ta‘a>ruf) di antara kedua mempelai. Dengan proses saling mengenal dan saling memahami ini diharapkan masing-masing mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah kebaikan akhlak dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik, harta dan keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si wanita dan juga diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga ar-Ri<d}a> (kerelaan), disini syari‘t Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua mempelai. Keempat Kafa>’ah yaitu kesejajaran antara kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya setelah mengarungi bahtera rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin, dalam mahar ini syari‘at mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.[4]
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia.
Konsep kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status hukum berbeda di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah janda atau gadis.  Mazhab Sya>fi‘i< misalnya menyebutkan bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya adalah wajib. Lain halnya kalau persetujuan datangnya dari anak gadis menurut ulama Sya>fi‘i<ah tidak begitu penting (hanya sekedar sunat), bahkan menurut ulama Sya>fi‘i<ah ketika sudah memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang tua dalam hal ini tidak perlu lagi meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan
2.      Calon suami sekufu
3.      Mahar yang sesuai
4.      Calon suami sanggup memberikan mahar
5.      Bukan dengan laki-laki yang membuatnya menderita dalam pergaulan[5]
Berbeda dengan mazhab Sya>fi‘i<, mazhab H}a>nafi< berpendapat bahwa antara status hukum persetujuan   antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya wajib dimintai persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafi<ah yang membedakan antara janda dengan anak gadis adalah pada tanda persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup dengan diamnya.[6]
Mazhab H}anbali< mensikapi persoalan ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh  Ibn Quda>mah dalam kitabnya al-Mugni< menyebutkan bahwa persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang menentukan artinya bahwa tanpa adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah, walaupun si anak gadis tidak menginginkan perkawinan itu, dan  beliau cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai persetujuan ketika akan menikahkannya.[7]
 Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut dalam karyanya Za>d al-Ma‘a>d berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan kepada anak gadis ketika akan menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf dan mazhab H}a>nafi< serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.[8]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir  Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab H}anbali< mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna, tetapi beliau berani berbeda pendapat.
Melihat konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman, yang mana dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan  dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pakar dalam disiplin ilmu tertentu.
Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah Sya>fi‘i<ah yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting (sunnat), maka penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah ini sebagai pembahasan dalam karya ilmiyah untuk alternatif.

B.   Pokok Masalah

Dari deskripsi latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah pokok yaitu :
1.      Bagaimana pendapat dan apa yang menjadi landasan pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan?
2.      bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan konteks sekarang di Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan
Untuk mendeskripsikan tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan.
Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran Ibn Qayyim dengan konteks sekarang di Indonesia.
 Kegunaan
a.       Mengenalkan konsep berfikir Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pemikiran keIslaman.
b.      Untuk menambah khazanah keilmuan hukum Islam terutama tentang sejauhmana relevansi pemikiran ibn qayyim al-jawziyyah dalam kaitan ini dikaitkan dengan konteks sekarang.

D. Telaah Pustaka

Dari hasil penelusuran yang dilakukan penyusun terhadap literatur yang membahas tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah serta literatur yang membahas tentang persetujuan anak gadis, dapat penyusun paparkan sebagai berikut: 
Karya yang mengkaji pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah di antaranya, adalah: “Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<‘ah dan Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”[9] Oleh Sholahuddin Siregar. Karya ilmiah berupa skripsi. Dalam skripsi ini, penyusun berkesimpulan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat sadd az|-z|ari<‘ah merupakan upaya menutup semua jalan yang membawa kepada kemudharatan. Pembahasan skiripsi ini hanya berbicara tentang konsep sadd az|-z|ari<’ah nya Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
“Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah”[10] oleh  Ikmal Munthador, penyusun dalam skripsi ini menyimpulkan bahwa Ibn Qayyim Al-Jawziyyah berpendapat hiyal yang menyebabkan sesuatu yang haram menjadi tampak halal, sesuatu yang yang wajib menjadi tampak tidak wajib haruslah dicegah. Sementara Hiyal yang diakui Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah hiyal yang dikonfirmasi oleh nash. Skripsi ini hanya membahas konsep Hiyal  menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Sedang pada kajian persetujuan anak gadis dalam perkawinan, dari penelusuran yang dilakukan penulis terhadap literatur yang ada belum ditemukan karya ilmiah yang mengangkat secara khusus tentang tentang pembahasan ini. Akan tetapi, memang ada sejumlah skripsi yang sekilas membicarakan tentang tema ini di antaranya, “Ijbar dan Kebebasan Wanita Dalam Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut”[11] oleh Mushtofa Kamal.skiripsi ini menggunakan maslahah  yang berkonsentrasi pada hifz} an-nafs, yang pada gilirannya skiripsi ini menyimpulkan bahwa memberikan hak kepada perempuan untuk bebas memilih calon suamniya merupakan “harga mati” yang tidak bisa ditawar lagi demi mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri.
“Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah”[12]oleh Niswatul Imamah. Skiripsi ini berusaha menggunakan maslahah sebagai pisau analisisnya untuk membedah pemikiran Ibn Taimiyyah dengan mengembalikan akar persoalan kepada otentisitas hadis. Salah satu babnya berbicara tentang hak perempuan dalam memilih pasangan, menekankan bahwa perempuan maupun laki-laki mempunyai hak yang sama dalam menentukan pasangan.
Masalah persetujuan anak gadis dalam perkawinan sendiri tidak pernah lepas dari pembahasan buku fiqh klasik maupun modren, biasanya masalah itu dibahas sebagian bagian dari topik wali dan belum menjadi topik yang mandiri, kitab al-Umm[13] karya asy-Sya>fi‘i< dengan jelas menggambarkan hal ini, Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id mencoba menganalisis pendapat para imam mazhab tentang pembahasan ini[14]. Fiqih Lima Mazhab[15] oleh Muhammad Jawad Mughniyah. Karya ini memuat pandangan dari berbagai mazhab. Dari buku modren diwakili oleh buku Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I)[16], ketika berbicara tentang wali, dalam salah satu sub babnya menyinggung tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dengan mengutip pandangan dari mazhab yang empat.
ketika akan membahas lebih lanjut tentang persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, penulis menggunakan kitab yang dikarangnya sendiri yaitu Za>d al-Ma‘a>d. Ibn Qayyim dalam kitabnya tidak membahas secara khusus tentang pembahasan ini, akan tetapi Ibn Qayyim memberikan satu pasal tentang orang tua yang akan menikahkan putrinya, dengan membahas yang masih gadis dan janda sekaligus.Walaupun dengan sumber yang sangat terbatas untuk dijadikan rujukan penulis, namun penulis tetap optimis bahwa pembahasan ini tetap layak dan menarik untuk dijadikan sebagai sebuah kajian ilmiah.
E.     Kerangka Teoritik
Syari‘ah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal terkandung aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan (ibadah), sementara pada dimensi horizontal syari‘ah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal dengan isitilah muamalah.[17]
Muamalah menurut Ibn ‘Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mu‘a>wad}ah ma>liyah (hukum kebendaan), muna>kah}at (hukum perkawinan), muh}asanah (hukum acara), amanah dan ‘aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).[18]
Munakahat sebagai bagian dari muamalah ketika diaplikasikan diawali dengan akad. Akad adalah segala yang dilakukan oleh seseorang dengan iradahnya (kehendaknya), dan syara‘ menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak.[19]
Defenisi di atas menjelaskan, suatu akad dikatakan sah apabila dilakukan dengan  kerelaan (tanpa paksaan) para pihak.
Syari‘ah juga mempunyai tujuan ketika dihadirkan di tengah-tengah manusia, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana  ditegaskan Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:[20]
وماارسلناك الارحمة للعالمين[21]
Para ulama sepakat bahwa syari‘ah mengandung kemaslahatan untuk manusia. Namun ulama berbeda pendapat tentang, apakah maslahah itu yang mendorong Allah untuk mendatangkan syari‘ah?. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.      Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy‘a>riyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya,[22] sebagaimana firman Allah:[23]
ان ربك فعال لمايريد
2.      Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hambanya  (yang dianut oleh ulama kalam al-Mu‘tazilah) berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah mendatangkan syari‘ah.[24]
Sejumlah defenisi maslahah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghaza>li< mengemukakan bahwa pada prisipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syari‘ah.[25]
Maslahah yang dimaksud bukanlah sekedar maslahah yang didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, akan tetapi lebih jauh bahwa sesungguhnya maslahah tersebut harus sejalan dengan tujuan syari‘ah.[26] dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan syari’ah dan bukan kehendak manusia.[27]
Tujuan syari‘ah yang harus dipelihara itu, lanjut al-Ghaza>li<, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syari‘ah di atas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala aspek bentuk mudharat yang berkaitan dengan kelima aspek tersebut juga dinamakan maslahah.[28]
Wanita dalam kerangka memelihara jiwa seharusnya diberikan kekuasaan atas dirinya sendiri, misalnya bebas untuk kapan ia mau menikah, kapan mau memilih pasangan, dan kapan ia akan mempunyai anak. Hal ini sesuai dengan perumusan bahwa syari‘ah adalah apa yang disyari‘atkan Allah dalam al-Qur’an dan Sunnah yang berupa suruhan dan larangan serta petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[29]
F.      Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian  dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi pembahasan.
2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis[30], yaitu memaparkan konsep persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim untuk kemudian menilai sejauhmana relevansi pemikiran beliau dengan konteks sekarang.
3.      Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil karya Ibn  Qayyim al-Jawziyyah yaitu Za>d al-Ma’a>d[31]. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber skunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang fikih munakahat di antaranya adalah kitab al-Umm karya ima>m asy-Sya>fi‘i<,  Fiqih Lima Mazhab[32] oleh Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, , Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), oleh Khoiruddin Nasution.[33]
sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa buku, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya

4.      Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif[34] artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam.
5.      analisis data.
      Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif[35]. penyusun berusaha menganalisa pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks sekarang.
G.    Sistematika Pembahasan
Untuk  mempermudah pembahasan skripsi ini, dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
            BAB I merupakan pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan. Bab I memuat Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Dan Kegunaan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
            BAB II setelah pada bab I diketahui arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini.  Pada bab ini memuat tentang keberadaan dan kepribadiannya-Riwayat Hidup-. Penyusun juga menggambarkan Paradigma pemikiran hukum yang lebih menekankan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika mengambil dasar hukum.
            BAB III mengupas secara umum tentang persetujuan anak gadis dalam proses  perkawinan. Hal ini diperlukan sebagai perbandingan antara pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan ulama-ulama lain sehingga bisa dinilai pendapat siapa sesungguhnya yang paling relevan untuk saat ini. Untuk mencapai pemahaman yang utuh tentang pembahasan ini, maka pada bab ini juga diangkat tentang kebebesan wanita dalam perkawinanan. Bab ini berisi Dasar-Dasar Hukum Ulama yang menyangkut masalah pembahasan ini, dan juga Pandangan mereka seputar hal ini.
            BAB IV setelah diuraikan pandangan beliau tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dan gambaran umum dari ulama-ulama lain tentang pembahasan ini, maka dalam bab ini penyusun melakukan Analisis Terhadap Pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang.
            BAB V sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam di masa depan.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN  ANAK GADIS
DAN KEBEBASAN WANITA
A.    Dasar hukum
Secara umum bisa dikatakan bahwa ketika para ulama membahas tentang persetujuan gadis dalam perkawinan, mereka biasanya menggunakan hadis-hadis sebagai dasar hukum bagi kasus ini.
Ulama terpisah menjadi dua pendapat ketika membahas kajian ini. satu pihak menyatakan bahwa persetujuan gadis dalam perkawinan hanya sekedar sunat atau penyempurna, sedangkan di pihak lain berpendapat bahwa persejuan gadis dalam pernikah adalah wajib, artinya tanpa ada persetujuan darinya perkawinan tidak sah.
Berikut ini sejumlah hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa persetujuan si gadis hanya sekedar sunnat antara lain:
Hadis dari Ibn Abba>s, Nabi bersabda:[36]
الايم احق بنفسهامن وليها البكرتستأذن فى نفسهاواذنهاصماتها
Hadis Ibn Abba>s tersebut menjelaskan bahwa wanita ada dua golongan. Pertama janda dan kedua gadis. Kekuasaan bapak gadis selaku wali terhadap kedua golongan ini tidak sama. Permulaan hadis tersebut menegaskan bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya. Mafhu>m Mukha>lafah-nya adalah bahwa bapak lebih berhak terhadap diri gadisnya.[37]
Riwayat yang menerangkan bahwa gadis diminta persetujuannya, hendaklah diartikan bahwa hukum meminta persetujuan itu adalah sunat bagi bapak sekedar membesarkan hati anak gadisnya dan wajib hukumnya bagi selain bapak.[38]
Hadis dari Khansa>’ binti Khida>m:[39]
عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها
Perkataan perawi hadis yang berupa “sedangkan ia janda” jelas suatu isyarat yang menunjukkan illat atau sebab dari penolakan (tidak diakui) rasul. Hal yang sebaliknya adalah jika ia gadis maka perkawinannya akan diterima Rasul.[40]
Hadis dari Ibn Abba>s, Nabi bersabda:[41]
ليس للولي مع الثيب امر واليتيمة تستأمر فصمتها اقرارها
Dalam hadis ini gadis yang tidak berbapak dan sudah dewasa dikatakan yati<mah dari segi باعتبرماكان menurut ilmu balaghah, karena istilah yati<mah adalah sebenarnya adalah term bagi anak yang tidak berbapak yang belum dewasa menurut arti yang hakiki.[42]
Perkataan تستأمر mernjadi qarinah karena orang yang belum dewasa tidak dianggap sah perintahnya dan haruslah kita menunggu sampai ia dewasa.[43]
Jadi, gadis yang tidak berbapak wajib diminta persetujuanya. Ini menunjukkan bahwa gadis yang berbapak tidak perlu bapak meminta persetujuannya.[44]
Adapun hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa seorang bapak wajib meminta persetujuan anak gadisnya ketika akan menikahkannya adalah sebagai berikut:
Hadis dari Abu> Hurairah yang diriwayatkan oleh jamaah:[45]
لاتنكح الايم حتى تستأمرولاتنكح البكرحتى تستأذن
Dalam hadis Abu> Hurairah ini, terdapat pengertian yang berupa larangan Rasul untuk menikahkan gadis tanpa seizinnya, sebagaimana beliau menikahkan janda tanpa seizinnya. Secara implisit hadis tersebut menjelaskan sahnya akad nikah tergantung ada atau tidak persetujuan wanita yang akan dinikahkan. Persetujuan tersebut bila dari janda berwujud ucapan sendangkan dari gadis cukup dengan diamnya saja. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara gadis dengan janda adalah terletak pada cara penyampaian persetujuan itu sendiri.[46]
Hadis dari Ibn Abba>s:[47]
ان جارية) بكرا( اتت النبى صلى الله عليه وسلم فذكرت ان اباهازوجها وهى كارهة فخيرها النبى صلى الله عليه وسلم
Hadis ini menceritakan suatu kasus pada masa Nabi di mana ketika itu seorang gadis datang menghadap beliau untuk mengadukan bapaknya yang telah menikahkannya tanpa persetujuannya. Terhadap kasus ini Nabi memberikan kepada si gadis hak khiyar (kesempatan untuk memilih) karena perkawinan dilangsungkan tanpa persetujuan si gadis. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang bapak tidak sah menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuannya.[48] 
Wanita yang datang kepada pada hadis ini bukanlah Khansa>’ binti Khida>m  wanita yang disebutkan pada hadis sebelumnya yang memang sudah janda. Jadi, ada dua wanita dengan status yang berbeda, yang pertama janda dan yang kedua masih gadis. Akan tetapi Nabi memberikan perlakuan yang sama terhadap kedua wanita itu.[49]
Hadis dari Siti ‘A<isyah:[50]
عن عائشة رضي عنها قالت قلت يا رسول الله يستأمر النساء في ابضاعهن قال نعم قلت فان البكر تستأمر فتستحيي فتسكت قال سكاتها اذنها
Hadis dari Siti ‘A<isyah:[51]
عن عائشة ان فتاة دخلت عليها فقالت ان ابي زوجني ابن اخيه ليرفع بي خسيسته وانا كارهة قالت اجلسي حتى ياتي النبي صلى اللهم عليه وسلم فجاء رسول الله صلى اللهم عليه وسلم فاخبرته فارسل الى ابيها فدعاه فجعل الامر اليها فقالت يا رسول الله قد اجزت ما صنع ابي ولكن اردت ان اعلم اللنساء من الامر شيء
Perkataan fata>tun dalam hadis Siti A<isyah ini, diasumsikan sebagai wanita yang masih gadis. Demikian juga perkataan wanita tersebut di depan Rasul yang berupa “tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada para wanita bahwa bapak tidak mempunyai suatu urusan (hak) apa pun “ jelas menunjukkan bahwa bapak tidak mempunyai hak ijbar terhadap anak gadisnya, karena perkataan an-nisa> (para wanita) mencakup seorang wanita yang masih gadis.[52]

B.     Pandangan Ulama-Ulama Fiqh
Ada pemetaan menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang perbedaan pendapat ulama tentang kebebasan wanita dalam memilih pasangan yang dapat dirinci sebagai berikut:[53]
1.      Para ulama sepakat bahwa untuk wanita janda diwajibkan ada persetujuannya.
2.      Janda yang belum balig, menurut imam Ma>lik dan imam Ha>nafi<, wali boleh memaksanya untuk menikah, sedangkan menurut imam Sya>fi‘i< wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya.
3.      Mengenai gadis kecil para imam mazhab sepakat bahwa ia boleh dinikahkan tanpa persetujuannya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang siapa yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. Menurut Sya>fi‘i yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya adalah bapak dan kakeknya, sedangkan imam Ma>lik mengatakan yang boleh hanya bapaknya saja atau orang yang mendapat penyerahan dari bapak untuk melakukan akad itu jika calon suami telah ditentukan bapak, dan pendapat imam Ha>nafi< adalah setiap orang yang mempunyai hak wali terhadap si gadis boleh menikahkanya walaupun tanpa persetujuannya, akan tetapi setelah dewasa si anak gadis mempunyai hak khiya>r (memilih).
4.      Ulama berbeda pendapat tentang persetujuan sendiri itu jika wanitanya gadis dewasa. Imam Ma>lik dan imam asy-Sya>fi‘i< berpendapat persetujuan hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa anak gadis untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sedangkan menurut imam Ha>nafi< harus ada persetujuan dari si gadis.
Berikut diuraikan lebih lanjut pendapat empat mazhab tentang pembahasan ini.
a.       Mazhab Ma>liki<
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih pasangan (calon suami), imam Ma>lik membedakan antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yaang belum dewasa yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali di luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya.[54] Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut imam Ma>lik karena memang syara‘ mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.[55]
Kemudian az-Zarqa>ni< menuliskan dua pandangan ‘Iya>d tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis, walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya, kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya.[56] Kedua pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi[57]
الايم احق بنفسهامن وليها
Pendapat pertama, dengan mengambil mafhu>m  mukha>lafah dari hadis ini,  sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis Nabi:[58]
لانكاح الابوالي
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika membahas tentang persetujuan janda dalam perkawinannya, ulama mutaakhiri<n dalam mazhab Ma>lik terpecah kepada tiga kelompok, pertama. bapak boleh menikahkanya tanpa persetujuannya apabila perceraiannya terjadi sebelum ia dewasa, ini adalah pendapat Asyha>b. Kedua, bapak tetap boleh menikahkannya walaupun perceraiannya terjadi setelah ia dewasa, ini pendapat Sahnu>n. dan ketiga, bapak tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya baik perceraiannya terjadi sebelum atau sesudah ia dewasa, ini pendapat Abu>Tamma>m.[59]
b.      Mazhab H}ana>fi
Menurut Abu H}ani<fah, persetujuan wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.[60]
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu H}ani<fah adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa>. dalam kasus ini, al-Khansa>menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” al-Khansa>’ menjawab “ saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan “nikahlah dengan orang yang kamu senangi”.[61] al-Khansa>’ berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa>’, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat sebelumnya.[62]
Kasus al-Khansa>ini menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus tegas.[63]
Imam H}ana>fi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran
 Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahal mis|il. Akan tetapi kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta q}}a>d}i<  untuk membatalkan perkawinan itu.[64]
c.       Mazhab asy-Sya>fi‘i<
Imam Sya>fi‘i< membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis. Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakar yang menikahkan A<isyah kepada Nabi, dan umur ‘‘A<isyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhu>m mukha>lafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Sya>fi‘i mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya[65], meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, berdasarkan firman Allah:[66]
وشاورهم في الامر
Dari penjelasan asy-Sya>fi‘i, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan asy-Sya>fi‘i sendiri yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ((فرض tetapi hanya sekedar pilihan ((اختيار.[67]
Adapun perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu.[68] Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain.[69] Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ((احق بنفسها berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.[70]
d.      Mazhab H}anbali<
Dalam al-Mugni<, Ibn Quda>mah seorang ulama besar dari mazhab ini mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Quda>mah sendiri cendrung berpendapat, bapak berhak memaksa anak gadisnya  baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak setuju.[71] Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah:[72]
واللائي يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلاثة اشهر واللائي لم يحضن
Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa iddah seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah iddah muncul karena talak, dan talak muncul karena nikah.[73] Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li< Nabi:[74]
عن عائشة قالت تزوجني النبي صلى اللهم عليه وسلم وانا بنت ست سنين وبنى بي وانا بنت تسع سنين
Menurut ibn Quda>mah, disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu> Bakr (bapak/wali) kepada A<isyah.
Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid, menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang perlu tidaknya persetujuan wanita dalam perkawinannya bermuara pada illat yang dipakai oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua illat yang dipakai ulama sebagai dasar argumennya yang masing-masing illat mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Illat yang dimaksud adalah kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.[75]
Ulama yang menggunakan illat kedewasaan wanita sebagai dasar argumentasi, maka konsekwensi hukumnya adalah wanita dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah oleh siapa pun dan persetujuannyalah yang menentukan sah tidaknya suatu akad nikah.illat inilah yang digunakan oleh imam H}ana>fi.[76]
Ulama yang menggunakan illat kegadisan wanita, maka konsekwensinya adalah gadis dewasa boleh dipaksa walinya (bapak) untuk menikah. Jadi persetujuannya bukanlah sesuatu yang menentukan. Imam Sya>fi‘i menggunakan illat ini.[77]
Ada yang menggunakan kedua illat tersebut sebagai satu kesatuan tanpa dipisah-pisah. Dengan kata lain, apabila illat kebelumdewasaan dan kegadisan masih melekat pada diri seorang wanita maka ia tetap bisa dipaksa untuk menikah. Menurut pendapat ini, persetujuan seorang wanita menentukan dalam perkawinannya ketika ia sudah berstatus janda dan dewasa. Illat digunakan oleh imam Ma>lik.[78]

BAB III
IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS
A.    Riwayat Hidup
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, nama populer untuk Syams ad-Di<n abu> ‘Abdillah Muhammad bin Abi> Bakr bin Ayyub bin Sa‘ad bin Haris| az-Zar‘i ad-Dimasyqi[79]. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dilahirkan di Damaskus pada tanggal 7 Syafar 691 H. bertepatan dengan 29 Januari 1292 M. dan wafat[80] pada tanggal 13 Rajab 751 H. bertepatan dengan 1350 M.[81]
Ibn Qayyim al- Jawziyyah hidup dilingkungan ilmiah yang sempurna. Beliau mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk pengembangan ilmu, sehingga banyak karya intelektualnya dapat dijadikan sumber ilmu.[82] Nama al-Jawziyyah [83] sendiri  diambil dari satu sekolah yang dibangun oleh Muh}yy ad-Din bin H}a>fiz bin Abu> Farj Abdul ar-Rah}i<m al-Jawzi, yang mana ayah Ibn Qayyim al- Jawziyyah adalah salah satu pengurus (qayyim) di dalamnya.[84]
Ibn Qayyim al- Jawziyyah sangat mencintai ilmu, maka tidak heran kemudian kalau beliau mempunyai sejumlah guru[85], diantaranya Ibn Taimiyyah. Beliau berguru pada Ibn Taimiyyah sejak 712 H. setelah sang guru datang dari Mesir. Pikiran dan ide-ide Ibn Taimiyyah sangat mempengaruhi Ibn Qayyim al- Jawziyyah. Beliau bahkan menempuh jalan yang dilakukan oleh gurunya itu dalam memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama. Meskipun beliau sangat mencintai dan menghormatinya gurunya, tetapi tidak jarang beliau berbeda pendepat dengannya, jika menurutnya sesuatu itu benar dan jelas dalilnya.[86]
Berkat kedalaman dan keluasan ilmunya Ibn Qayyim al- Jawziyyah[87] yang sebagian besar diperoleh dari gurunya Ibn Taimiyyah beliau kemudian dijuluki Syaikh al-Isla>m yang kedua setelah gurunya tersebut.[88]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah berusaha mengajak orang kembali berpegang kepada al-Qur’an dan as-sunnah sebagaimana ulama Salaf dan mengajak meninggalkan perbedaan pertikaian mazhab. Juga Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengajak bebas  berfikir dan memerangi taklid buta. Usaha dan ajakan itu tidak hanya dibidang Ilmu Kalam, tapi juga di bidang Fiqh dan Tasyawuf.
Dalam masalah Fiqh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sekalipun mengikuti aliran  Ahmad bin H}anbal, namun juga mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan paham Ahmad bin H}anbal. Beliau termasuk priode keenam, priode ini ditandai dengan meluasnya faham fanatik dan taklid kepada ulama-ulama mujtahid yang empat,[89] tetapi Ibn Qayyim al-Jawziyyah menolak taklid dan membuka pintu ijtihad serta kebebasan berfikir.[90]
Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersifat pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang Tasawuf. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan as-sunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan. Ajaran-ajaran Tasawuf seharusnya memperkuat Syari‘at dengan itu beroleh kesegaran dan penghayatan hakiki yang tumbuh dari kedalaman batin manusia.[91]
Karir Ibn Qayyim al-Jawziyyah sangat sederhana dan selalu dihalang-halangi oleh golongan oposisi, sebagaimana Neo-Hanbalisme yang dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah juga ditentang oleh kalangan pemerintah.[92]
Banyak ulama yang mempunyai keutamaan pada masa hidup Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang belajar kepadanya[93] dan memanfaatkan karya-karyanya.[94]
Gelora pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang tegas dengan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bid‘ah dan khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi masyarakat dimana Ibn Qayyim al-Jawziyyah hidup.[95] Di timur Hulaghu Khan datang mengobrak–abrik umat Islam dan dari barat kekuatan-kekuatan yang membentuk perang salib, sementara Aqidah dan pemikiran umat  Islam dalam keadaan beku (jumud) dibalut oleh lumpur taklid, khurafat dan bid‘ah.[96]
Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu Ijtihad telah ditutup dan diterima secara umum di zaman tersebut. Disamping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan meluas di dunia Islam. Demikianlah kehidupan yang melanda orang Islam pada masa itu, penuh dengan bentrokan fisik dan perpecahan sesama mereka, disebabkan mereka menyimpang dari ajaran agama.
Keadaan seperti ini membutuhkan terjadinya perubahan  dan pembaharuan kesempatan seperti inilah yang paling tepat untuk mengajak dan mengarahkan bangsa kembali kepada ajaran Islam. Kondisi tersebut mendorong Ibn Qayyim al- Jawziyyah untuk menegakkan dakwah perdamaian, mempersatukan paham Aqidah dan Fiqh, membuang pertikaian sesama orang Islam serta membuka kembali pintu ijtihad dengan tetap berpegang kepada al-Qur’an dan as-sunnah.
B.     Paradigma Pemikiran Ibn Qayyim al- Jawziyyah
1.      Dasar-dasar hukum
Dalam karyanya yang berjudul I‘lam al-Muwaqqi‘i<n dijelaskan,  ada tujuh sumber hukum yang dipakai  Ibn Qayyim al-Jawziyyah ketika mengistinba>tkan hukum dari suatu kasus yang ditemuinya. Sumber-sumber hukum tersebut adalah: pertama, nash al-Qur’an dan as-sunnah; kedua, ijma‘; ketiga, fatwa shahabat; keempat qiyas; kelima, istis}h}a>b; keenamurf ; dan ketujuh sadd az|-z|ari<‘ah.
a.      Nash
Nash yang dimaksud oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah teks-teks al-Qur’an dan as-sunnah. Menurutnya seorang ahli hukum jika menemukan suatu persoalan yang menghendaki pemecahan hukum, maka pertama-tama ia harus mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash. Apabila ia mendapatkan nash, maka wajib menetapkan hukum berdasarkan nash tersebut.[97] Untuk memperkuat pandangan tersebut Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengemukakan bukti dalam al-Qur’an sebagai berikut:[98]
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة اذا قضى الله ورسوله امرا ان يكون لهم الخيرة من امرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang mukmin tidak  dibenarkan mengambil alternatif hukum yang lain sesudah Allah dan Rasulnya untuk menetapkan hukum, dan barang siapa mengambil alternarif lain, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.[99]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah mendahulukan teks-teks Hadis sebagai  dasar/sumber hukum daripada Ijma‘, ra’yu, maupun qiyas ( analogi).[100]
Selanjutnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan posisi as-sunnah terhadap al-Qur’an yang menurutnya ada tiga fungsi, yakni: pertama, as-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an; kedua, as-sunnah menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus tafsir baginya; dan ketiga as-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum[101].
b.      Ijma
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan kata ijma‘ sesuai ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya. Ia bekata:[102]
لااعلم شيئايدفعه




c.       Fatwa Shahabat
Mayoritas ulama mengakui fatwa Shahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan Salaf, dan fatwa-fatwa para Shahabat.[103] Fatwa mereka lebih utama daripada fatwa ulama kontempoter.[104] Karena fatwa para Shahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup Rasul. Imam asy-Sya>fi‘i< dalam qawl qadi<m seperti dikutip al-Baihaqi<, mengatakan bahwa semua Shahabat berada di atas kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara’, dan intelektualnya. Menurutnya pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita secara keseluruhan.[105]
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah pandangan tersebut didasarkan pada firman Allah:[106]
والسابقون الاولون من المهاجرين والانصار والذين اتبعوهم باحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه واعد لهم جنات تجري تحتها الانهار خالدين فيها ابدا ذلك الفوز العظيم
d.      Qiyas
Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup setelah mati kepada terjaga (bangun) setelah tidur, dan membuat beberapa perumpamaan, serta menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiya>s aqli<, dimana Allah ingin mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang serupa. Perlu diketahui bahwa qiyas yang dipakai oleh Ibn Qayyim al- Jawziyyah dalam proses pengambilan kesimpulan (dalil) terbagi dalam tiga bagian, yaitu: Qiya>s ‘Illat, Qiya>s Dala>lah, dan Qiya>s Syabah.[107]
1)      Qiyas ‘Illat
Qiyas ini terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya sebagai berikut:[108]
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الارض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
Ayat ini menjelaskan – sebelum kamu terdapat umat-umat seperti kamu, maka perhatikanlah keburukan yang menimpa mereka, akibat mereka mendustakan ayat Allah dan para Rasul-Nya – umat sebelum kamu adalah as}al (pokok), sedangkan kamu adalah far‘un (cabang), sedangkan ‘illat (alasan ) yang mengumpulkan adalah kedustaan, hukumnya adalah kehancuran (kebinasaan).



2)      Qiya>s Dala>lah
Yang dimaksud dengan qiya>s dala>lah adalah mengumpulkan antara sumber pokok dengan cabang berdasarkan petunjuk ‘illat (alasan). Firman Allah yang menjelaskan tentang adanya qiya>s dala>lah:[109]
ومن اياته انك ترى الارض خاشعة فاذا انزلنا عليها الماء اهتزت وربت ان الذي احياها لمحيي الموتى انه على كل شيء قدير
Allah menunjukkan kepada hamba-hambanya dengan sesuatu yang dapat dilihat oleh mereka dalam kehidupan nyata untuk melihat kehidupan yang lebih jelas. Hal ini merupakan qiyas (analogi) kehidupan kepada kehidupan, dan mengungkapkan sesuatu dengan yang menyetarainya.sedangkan ‘illat(alasan)nya adalah kesempurnaan kekuasaan dan hukum Allah, sedangkan menghidupkan bumi merupakan petunjuk  (dali>l) yang menunjukkan ‘illat.
3)      Qiya>s Syabah
Qiyas jenis ini tidak digunakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah karena Allah hanya menggunakannya dalam menceritakan orang-orang yang berbuat kebatilan dan juga al-Qur’an mamakainya dalam rangka penolakan atau untuk mencela seperti halnya analogi yang diambil oleh orang Musyrik. 
e.       Istis}h}a>b
Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan dasar hukum ini, walaupun ulama berbeda pendapat dalam masalah Istis}h}a>b. Beliau membaginya dalam tiga bagian, yakni:[110] Istis}h}a>b Bara>‘ah al-As}liyyah, Istis}h}a>b as}-si}fah, dan Istis}h}a>b Hukm al-Ijma>‘ 
1)      Istish}a>b Bara>’ah al-As}liyyah
Arti lughawi al-bara>‘ah adalah “bersih”. Dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-as}liyah yang secara lughawi artinya: “menurut asalnya”, dalam hal ini maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.[111]
2)      Istis}h}a>b as}-si}fah
Istis}h}a>b bentuk kedua mengandung arti mengukuhkan berlakunya satu sifat yang pada sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubah hukum, atau sampai ditetapkan hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.


3)      Istis}h}a>b Hukm al-Ijma>‘ 
Istis}h}a>b bentuk ketiga mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma‘ ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.
f.        Sadd az|-Z|ari<‘ah
Beliau membagi az|-z|ari<‘ah dalam empat bagian dengan memandang akibat yang ditimbulkan : pertama, az|-z|ari<‘ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang mengakibatkan kerusakan akal, kedua, az|-z|ari<‘ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan yang merusak, seperti nikah muhallil, ketiga az|-z|ari<’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya, seperti berhiasnya seorang peremupuan dalam masa ‘iddah., dan keempat, az|-z|ari<‘ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya jauh lebih kecil dibanding kebaikannya, seperti melihat wajah perempuan saat dipinang.[112]
g.      ‘Urf
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam  berbicara ‘urf jarang mengungkapkan metodologi ‘urf itu sendiri, beliau hanya menyebutkan adanya dalil :
العرف كالشرط اللفظ
Yakni syarat yang berdasarkan ‘urf (tradisi) adalah seperti syarat yang berdasarkan pada lafaz
2.      Metode Istinba>t Hukum
Metode yang beliau pakai semuanya diwarnai dalam tulisan-tulisan, baik yang tertuang dalam kitabnya I‘lam al-Muwaqqi‘i<n secara khusus, maupun yang lainnya yang bercorak hukum. Bahkan secara umum juga terlihat dalam tulisan yang becorak Aqidah bahkan, Filsafat dan Tasawuf.
Secara keseluruhan langkah dan metode yang dipakai beliau dalam pembahasan fiqh yaitu:
a.      Mengemukakan Nash kemudian megeluarkan hukumnya tanpa memandang pendapat Fuqaha’
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam metode pembahasannya berbeda dengan Fuqaha’ sebelumnya dimana Fuqaha’ biasanya mengemukakan masalah-masalah kemudian mengaitkan dengan dalil. Ibn Qayyim al-Jawziyyah mempergunakan nash sebagi dasar pembahasannya kemudian beliau mengeluarkan hukumnya.  
b.      Mengemukakan pendapat ulama tanpa fanatik kemudian menukilnya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak cukup dengan nash juga mengikuti pendapat Fuqaha’ dalam menetapkan pilihan seperti dicontohkan dalam pemeliharan anak (h}ad}anah)[113]
c.       Mengemukakan dalil yang sesuai dan tidak sesuai menurutnya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam masalah khilafiyah tidak cukup hanya mengemukakan pendapatnya disertai dalil-dalil tetapi juga mengemukakan dalil-dalil orang yang membantah pendapatnya  kemudian beliau mengomentari pendapat orang tersebut.[114] 
d.      Tidak menyamakan atau mengambil dalil al-Qur’an saja tetapi dilengkapi dengan Hadis
Hal ini dilakukan supaya jangan terjadi pengada-adaan terhadap yang bukan ditujukan nash.
3.      Anak Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Persperktif Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Wanita dalam istilah arab terbagi menjadi dua status yakni anak gadis (al-bikr) dan janda (as|-s|ayyib). Kedua status tersebut mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda dikalangan fuqaha’.
Pada dasarnya anak gadis dalam pandangan dari penelurusan penulis, Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak berbeda dengan pendapat umum yang berlaku. Yaitu wanita yang belum menikah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut membagi anak gadis menjadi dua macam status yaitu anak gadis yang sudah balig dan anak gadis yang belum balig.[115] Dalam kajian ini penyusun membatasi pembahasan pada bagian anak gadis yang sudah balig.
 Seperti biasanya bahwa ketika Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat tentang sesuatu hal, maka langkah pertama yang beliau lakukan adalah mengemukan sejumlah dalil, kemudian mengambil hukum dari dalil tersebut.
Di dalam kitabnya yang berjudul Za>d al-Ma‘a>d sebelum berbicara tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan ada sejumlah hadis yang beliau angkat, seperti tertulis dalam bukunya  Za>d al-Ma‘a>d yaitu:
ثبت عنه فى الصحيحين : " عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها"[116]
وفى السنن من حديث ابن عباس :"ان جارية) بكرا( اتت النبى صلى الله عليه وسلم فذكرت ان اباهازوجها وهى كارهة فخيرها النبى صلى الله عليه وسلم[117] وهذه غيرخنساء فهماقضيتان قضى فى احداهمابتخيير الثيب وقضى فى اللاخرى بتخييرالبكر"
وثبت عنه فى الصحيح انه قال : "لاتنكح البكرحتى تستأذن قالوا : يارسول الله وكيف اذنها قال: ان تسكت"[118]و صحيح مسلم: البكرتستأذن فى نفسهاواذنهاصماتها"[119]
Dari rangkaian nash di atas Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa hukum yang diambil dari sana adalah seorang gadis yang sudah dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur Salaf dan mazhab Abu H}anafi< serta satu riwayat dari imam Ah}mad. Juga pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah SAW., baik dalam bentuk perintahnya maupun larangannya, atau dalam kaidah-kaidah syari‘ah maupun kemaslahatan umatnya.[120]
Beliau menuliskan dalam kitabnya bahwa pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah adalah diberikannya hak memilih bagi anak gadis yang tidak ingin untuk menikah. Hadis ini diriwayatkan secara mursal bukan karena adanya ‘illat, melainkan memang memilik status musnad dan mursal. Bila mengikuti pendapat Fuqaha’ : bahwa menjadikan status hadis ini merupakan ziyadah (tambahan), maka orang yang menjadikan hadis tersebut muttas}il jelas lebih didahulukan daripada yang menjadikannya berstatus mursal. ini merupakan hal yang wajar terjadi dalam tradisi Hadis. Bila menilai Hadis tersebut mursal seperti sebagaian besar ahli Hadis, memang hadis tersebut  benar-benar berstatus mursal. Akan tetapi didukung Hadis shahih lain, qiyas dan  kaidah-kaidah syara‘ sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dengan demikian, pendapat di atas dapat dirumuskan dalam kategori berikut ini:[121]
Pendapat yang menjelaskan bahwa persetujuan anak gadis wajib sesuai dengan perintah Nabi adalah sabda beliau:[122]
 البكرتستأذن
Pernyataan ini adalah perintah yang jelas, karena berbentuk khabar (berita) yang berfungsi memperkuat apa yang diberitakan dan menegaskannya. Hukum asalnya bahwa perintah menunjukkan lil wuju>b (keharusan), selama tidak ada ijma yang bertentangan dengannya.[123]
Pernyataan yang menjelaskan bahwa pendapat di atas sesuai dengan larangan Nabi adalah sabda beliau:[124]
لاتنكح البكرحتى تستأذن
Di dalam hadis ini terkandung perintah, larangan, sekaligus hukum kebolehan untuk memilih. Penetapan hukum ini merupakan cara yang paling tepat.
Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai dengan kaidah-kaidah syara‘ adalah seorang gadis yang sudah dewasa dan mampu berpikir matang, sang ayah tidak diperkenankan menggunakan harta miliknya meski sedikit kecuali atas persetujuannya. Seorang ayah tidak diperkenankan memaksa anak gadisnya tersebut supaya ia mengeluarkan hartanya meski sedikit tanpa mendapat persetujuannya. Bagaimana mungkin sang ayah diperbolehkan mengeluarkan harta yang paling berharga bagi anak gadisnya tanpa melalui persetujuannya kemudian memberikannya kepada seorang laki-laki pilihannya, sementara si gadis tidak menginginkan laki-laki tersebut.
Sudah pasti bahwa menggunakan seluruh harta sang gadis tanpa persetujuannya itu lebih ringan baginya daripada harus dipaksa nikah dengan seorang laki-laki yang bukan pilihannya sendiri. Pernyataan ini sekaligus menegaskan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa bila sang gadis mensyaratkan harus sekufu' kemudian sang ayah memenuhinya, maka yang dijadikan sandaran hukum adalah persyaratan yang diajukannya, meski laki-laki tersebut tidak disukainya atau bahkan buruk budi pekertinya.[125]
Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai dengan kemaslahatan ummat adalah jelas sekali bahwa menikahkan janda merupakan kemaslahatan tersendiri baginya karena sesuai dengan keinginannya dan ia rela. Dengan perkawinan itu si janda dapat mencapai tujuan nikah sekaligus terhindar dari kemafsadatan karena telah ditinggal oleh mantan suaminya.[126]
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas, Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak hanya menyodorkan pendapatnya an sich akan tetapi beliau juga mengemukakan pendapat yang berseberangan. Lebih lanjut dapat dilihat dalam kitabnya Za>d al-Ma‘a>d tentang hal ini, golongan yang berbeda pendapat dengan beliau berkata bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum secara berbeda antara wanita janda dan gadis, sebagaimana sabda beliau:[127]
ولاتنكح الايم حتى تستأمرولاتنكح البكرحتى تستأذن
Sabda Nabi yang lain:[128]
الايم احق بنفسهامن وليهاوالبكريستأذنها ابوها
Bila dalam kasus seorang janda, ia lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya sendiri, sementara dalam kasus seorang gadis, sang ayah lebih berhak atas dirinya. Jika tidak demikian, tentu tidak ada makna yang khusus bagi seorang janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi membedakan antara keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk persetujuannya adalah dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk persetujuan bagi seorang gadis adalah dengan diam. Semua ini menunjukkan atas ketiadaan dipandang persetujuan dari seorang gadis, sehingga tak ada wewenang baginya bila bersama sang ayah.[129]
Maka jawaban yang diajukan adalah bahwa tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kebolehan sang gadis dinikahkan tanpa melalui persetujuannya, sementara ia sendiri sudah memasuki usia dewasa dan mampu berpikir matang. Dan pendapat lain yang menyatakan bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki yang tidak disenanginya sekalipun, bila laki-laki itu sekufu', ditolak dengan jelas oleh hadis-hadis yang dijadikan sandaran hukum bagi pendapat ini. Tidak ada dalil yang lebih kuat dari pada hadis Nabi SAW berikut ini.[130]
الايم احق بنفسهامن وليها
Hadis ini dapat dipahami dengan jalan mafhu>m mukha>lafah. Pendapat yang menyatakan bahwa boleh menikahkan gadis tanpa persetujuannya biasanya menggunakan Hadis ini sebagai hujjah. Seandainya mereka mengajukan Hadis ini sebagai hujjah, maka tidak boleh mendahulukannya atas mant}u>q as}-s}ari<h} (bunyi nash yang sudah jelas). Bila dikatakan bahwa Hadis ini dipahami dengan mafhu>m mukha>lafah seperti disinggung di atas, dan dalam mafhu>m mukha>lafah terkandung makna yang umum. Maka yang benar, dalam mafhu>m mukha>lafah tidak terkandung makna umum, apabila ada dalil yang terkandung di dalamnya mengarah pada pengertian bahwa takhs}is} (mengkhususkan), yakni menegaskan hukum selain takhs}i<s} itu sendiri. Sudah jelas bahwa pembagian hukum selain takhs}i<s} ke dalam dua kategori; penetapan hukum dan penegasannya, juga terkandung faedah. Penetapan hukum lain terhadap perkara yang didiamkan juga terkandung faedah, meski di sana tidak terdapat kebalikan dari hukum mant}u>q (bunyi nash). Upaya untuk memerinci hukum tersebut juga terkandung faedah. Coba renungkan sabda Nabi SAW:[131]
والبكريستأذنها ابوها
Setelah sabdanya:
الايم احق بنفسهامن وليها
Pasti untuk menentang pendapat yang menyatakan bahwa Seorang gadis boleh dinikahkan tanpa persetujuan dan izinnya, seolah ia tidak punya wewenang sama sekali terhadap dirinya sendiri. Sehingga kedua Hadis di atas dapat dipertemukan demi menghindari terjadinya kekeliruan pemahaman. Jadi jelas bahwa meski seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sendiri, bukan berarti bahwa seorang gadis tidak memiliki wewenang atas dirinya.[132]
Lebih lanjut Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum tanda persetujuan seorang gadis adalah dengan diam, sedangkan tanda persetujuan seorang janda adalah dengan mengungkapkan persetujuannya secara langsung. Bila seorang gadis memberikan persetujuannya dengan mengungkapkan melalui kata-kata, itu lebih kuat status hukumnya. Untuk mendukung pendapat ini Ibn Qayyim al-Jawziyyah juga mengutip pendapat Ibn H}azm, beliau berkata: “Tidak sah menikahkan seorang gadis kecuali ia diam”. Pendapat inilah yang sesuai dengan kenyataan zahiriyahnya.[133]

_____( Bersambung.....



BIOGRAFI TOKOH

Asy-Syātibī
Nama lengkapnya adalah Abū Ishāq Ibrāhīm bin Musā Muh}ammad al-Lakhmī  asy-Syātibī al-Garnādi. Ia belajar di Branada, yakni kota kerajaan Bani Nasr. Beliau sangat selektif terhadap kitab-kitab yang dikajinya dan fanatik dengan kitab-kitab sehingga mengesampingkan buku-buku karya ulama' sesamanya. Di samping itu, beliau juga banyak mengkaji karya-karya al-Juwaini, al-Gazali, ar-Rāzī, al-Qarāfi, dan lain-lain. Ia meninggal dunia pada hari senin 8 Sya‘ban 790 H, yang bertepatan pada ranggal 30 Agustus 1388 M. di antara karya-karyanya yanga terkenal ialah al-Muwa>faqah dan al-I'tis}a>m

Hamka
Nama lengkapnya ialah Haji abdul Karim Amrullah, ia merupakan ulama' yang produktif dalam menulis dan mubalig besara yang berpengaruh di Asia Tenggara. Beliau lahir pada tanggal 16 Pebruari 1908 di Maninjau Sumatera Barat. HAMKA merupakan ketua MUI yang pertama, di samping itu beliau juga seorang pujangga yang banyak mengarang buku-buku roman, di antaranya ialah: Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelumnya ia menulis: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Merantau di Deli, serta biografi orang tuanya dengan judul: Ayahku  (1949). HAMKA adalah salah satu seorang yang banyak meninggalkan karya-karya bagi bangsa Indonesia, terhitung di antara judul buku yang dituliskannya lebih kurang 118 buah. Pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta ia menghembuskan nafas terakhir. Buku-buku atau kitab-kitabnya yang paling terkenal dan dikutip oleh sarjana-sarjana (kaum intlektual), yaitu kitab Tafsir al-Azhar yang telah ditulisnya sebanyak 30 jilid     

bn Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu< al-Wali<d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rusyd, lahir di Cordova, Andalusia pada tahun 520 H/1126 M dalam sebuah  keluarga yang terkenal sebagai pakar hukum Islam. Ayahnya, kakeknya, malah ibn Rusyd sendiri terkenal sebagai pakai hukum Islam pada masanya. Diantara karya-karyanya yang terkenal antara lain adalah Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, buku ini mengangkat persoalan hukum Islam, kemudian buku al-Kulliyah fi< At}-T}ib, yang membicarakan seputar medis. Beliau termasuk di antara para pendukung kebebasan kehendak. Tapi menurutnya, kebebasan ini ada batasnya. Sebab, manusia dan mahkluk tunduk di bawah hukum alam yang diciptakan Allah. Beliau wafat dalam usia 71 tahun, pada tahun 595 H/1198 M.

Imām asy-Sya>fi‘i<
Imam Syafi'i nama lengkapnya ialah Muh}ammad bin Idrīs asy-Sya>fi'ī al-Quraisyi, ia dilahirkan di Gazza pada tahun 150 H. bertepatan dengan wafatnya imam Abu> Hani>fah. Beliau dikenal sebagai pendiri mazhab Sya>fi'i<. Imam Syafi'ī berasal dari keluarga yang tidak mampu dan dibesarkan dalam keadaan yatim. Sejak kecil beliau giat mempelajari hadis dari ulama' hadis yang ada di Makkah, dan disaat usianya yang belum balig ia telah hafal Al-Qur'an. Ketika berumur 20 tahun ia meninggalkan kota Makkah, guna mempelajari ilmu fiqh dari imam Mālik kemudian setelah itu ia pergi ke Iraq untuk mempelajari ilmu fiqh dari murid imam Hanafī. Setelah imam Mālik meninggal dunia beliau pergi ke Yaman, di sana ia menetap dan mengajarkan ilmunya. Tak lama setelah itu ia kembali ke Makkah dan mengajar rombongan jama'ah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia. Karya-karya beliau yang termasyhur ialah kitab al-Umm dan ar-Risa>lah yang merupkan karyanya yang monumental dalam bidang usul fiqh.







Share this article :
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
 
Support : Creating Website Copyright © 2011. DAAR AL-ARQOM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger