KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
K.H. A. WAHID HASYIM
A.
Konteks Penelitian
Mengaitkan “Islam” dengan kategori keilmuan,
seperti konsep pendidikan, umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai
sesuatu yang final. Dalam kategori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan
iman dan taqwa, sebagai sesuatu yang sudah final. Sedangkan kategori “ilmu”,
seperti dikukuhkan di atas, memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan
dan tidak mengenal kebenaran absolut. Semua nilai kebenarannya bersifat
relatif. Maka, Islam yang dilihat dari sudut pengembangan Iptek adalah sesuatu
yang masih dalam proses, artinya masih terus menerus dicari dan dikembangkan.
Belajar terus tanpa henti untuk mencari dan menemukan Islam.
Dalam konteks Indonesia, apa yang disebut
sebagai “pendidikan Islam,” sebenarnya tidaklah begitu mudah untuk menentukan
atau menunjukkannya. Sebab masih banyak mempertanyakan, mana yang termasuk
pendidikan Islam, apakah lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi Islam
tertentu misalnya Muhammadiyah, ataukah madrasah dari berbagai jenjangnya yang
dibina oleh Departemen Agama, atau juga pendidikan (pengajaran) agama Islam
yang diberikan kepada para siswa sekolah umum seperti SMP dan SMA, atau justru
semua yang tersebut di atas adalah pendidikan Islam karena yang terlibat di
dalamnya orang Islam atau mayoritas beragama Islam.[2]
Di Indonesia, yang biasanya diidentikkan
sebagai lembaga pendidikan Islam, sekurangnya ada tiga, yaitu pesantren,
madrasah dan sekolah milik organisasi Islam[3] dalam setiap jenis dan jenjang yang ada.
Kecenderungan untuk menyusun identifikasi semacam itu, dasarnya lebih bersifat
realitas historis dimana ketiganya pernah di masa lalu menyatukan diri dalam
satu barisan yang menentang sistem pendidikan kolonial; dan yang jelas
sama-sama berangkat dari dan untuk kepentingan Islam dalam arti seluas-luasnya.[4]
Terlepas dari hal tersebut di atas, apabila
kita memperbincangkan tentang pendidikan Islam maka akan memunculkan gambaran
pilu dalam pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran dan kondisi yang
serba tidak jelas. Gambaran ini muncul biasanya ketika pendidikan Islam
dihadapkan dengan kemajuan sains Barat, namun lebih sering lagi muncul ketika
dibenturkan dengan kejayaan Islam di masa lalu.[5]
Kondisi tersebut dirasakan oleh banyak
kalangan, terutama saat ini ketika pendidikan Islam dianggap tidak mampu
berjalan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, Mastuhu dalam
tulisannya mengenai memberdayakaan sistem pendidikan Islam, menyimpulkan bahwa
sistem pendidikan Islam Indonesia menghadapi tantangan yang mendasar. Untuk itu
diperlukan upaya pembaruan yang tanpa henti. Jika sistem pendidikan Islam
Indonesia tidak mampu mengemban tugasnya, maka hilanglah fungsi sub-sistem
pendidikan nasional.
Tantangan yang bersifat mendasar tersebut
adalah:
Pertama, mampukah sistem pendidikan Islam Indonesia menjadi center
of excellence bagi pengembangan iptek yang tidak bebas nilai, yakni
mengembangkan iptek dengan sumber ajaran Qur’an dan Sunnah? Misalnya, mampukah
ahli-ahli kesehatan merekayasa kesehatan, donasi alat-alat tubuh tanpa
melanggar akidah dan Syari’at? Mampukah ahli-ahli perbankan memajukan sistem
permodalan tanpa riba?
Kedua, mampukan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjadi
pusat pembaruan pemikiran Islam yang benar-benar mampu merespon tantangan zaman
tanpa mengabaikan aspek dogmatis yang wajib diikuti?
Ketiga, mampukah ahli-ahli pendidikan Islam menumbuhkembangkan
kepribadian yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Tuhan lengkap dengan
kemampuan bernalar ilmiah yang tidak mengenal batas akhir?[6]
Ketiga permasalahan di atas adalah hal yang
sangat urgent untuk direnungkan dan dicarikan solusi dalam kaitannya
dengan upaya kontekstualisasi keilmuan dengan perkembangan dan tuntutan zaman,
serta dalam upaya mengejar ketertinggalan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Pada akhirnya, pembaruan dalam bidang pendidikan adalah salah
satu opsi yang harus pula dipertimbangkan untuk dijadikan solusi atas
permasalahan-permasalahan pendidikan Islam tersebut.
Gagasan mengenai pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia sebenarnya telah lama diperbincangkan bahkan dalam beberapa kasus
telah pula diupayakan pembaruan pendidikan dalam bentuk yang lebih nyata,
setidaknya apabila kita melihat sejarah lahirnya Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri
yang kemudian lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri, tentang Peningkatan Mutu
Pendidikan pada Madrasah yang ditanda tangani pada tahun 1975 adalah salah satu
bentuk upaya pembaruan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menuntaskan
problematika lembaga pendidikan Islam agar mencapai tingkat yang sama dengan
tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat.[7]
Dalam konteks kepesantrenan, pembaruan
pesantren pada tahun 1970-an, terutama yang ditulis oleh A. Mukti Ali,
difokuskan pada sistem pendidikan dan pengajaran. Pembaruan ini dilakukan
dengan argumen: (1) di pesantren terdapat madrasah, (2) tolak ukur baik atau
tidaknya pesantren terletak pada seberapa jauh dapat menunjang pembangunan
Nasional, (3) pesantren, pada umumnya berada di luar kota atau di desa-desa dan
sebagian besar santri adalah anak-anak petani dan nelayan, dan (4) pesantren
mempunyai jasa yang besar dalam kebangkitan nasional dan dalam mempertahankan
Negara Kedaulatan Republik Indonesia, serta (5) merupakan tempat pendidikan
yang paling utama dalam menanamkan dan menyiarkan ajaran Islam di kalangan
masyarakat Indonesia.[8]
Sasaran yang akan diperbaharui adalah pertama,
mental mau dibangun diganti dengan mental membangun, yang memiliki
ciri-ciri; (a) sikap terbuka, kritis, dan suka meneliti, (b) melihat ke depan,
(c) teliti dalam bekerja, (d) mempunyai inisiatif dalam menggunakan metode-metode
baru untuk berbuat sesuatu sekalipun anggota masyarakat lainnya belum atau
tidak mempergunakannya, (e) lebih sabar dan tahan bekerja dan (f) bersedia
bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Kedua, pembaruan kurikulum
pondok pesantren, dan ketiga, pengajaran dan pendidikan yang berhubungan
dengan keterampilan kerja. Pembaruan pondok pesantren diarahkan untuk jangka
pendek supaya dapat mencukupi tenaga kerja tingkat rendah dan menengah, dan
untuk jangka panjang supaya dapat ikut aktif dalam pembangunan untuk
menciptakan masyarakat adil makmur lahir batin.[9]
Masih terkait dalam wacana pendidikan
kepesantrenan, Nurcholish Madjid juga memberikan kritikan tajam terhadap model
pendidikan dari institusi yang dianggap turut memberikan kontribusi terhadap
munculnya pemahaman dikotomik dalam wacana keilmuan ini. Oleh karena itu, upaya
modernisasi pendidikan tradisional (pesantren) adalah sesuatu yang harus
dilakukan, karena bagi Nurcholish Madjid tidak ada alasan untuk memusuhi ilmu
pengetahuan modern. Implikasi dari kemodernan nasional memunculkan pertumbuhan
intelektual muslim dalam jumlah yang melimpah dan mutu yang meningkat.
Kemampuan sejumlah besar orang-orang muslim untuk mengambil bagian dalam
kehidupan modern menambah kemantapan mereka pada diri sendiri. Kemantapan itu
akan melahirkan tindakan-tindakan yang lebih positif dan konstruktif.[10]
Dalam bingkai kepesantrenan, nama Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai organisasi kaum tradisionalis tentu akan selalu dikaitkan dengan
institusi pendidikan ini. Hal ini karena unsur-unsur yang terdapat dalam Islam
tradisional Indonesia (NU) meliputi adanya lembaga pesantren. Dalam hal ini
peran dan kepribadian kiai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa
kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya
Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai
dikatakan bahwa Islam tradisionalis adalah Islam pedesaan. [11]
Dalam konteks kajian ke NU-an ini pula terdapat
seorang tokoh yang memiliki peran besar tehadap upaya pencerahan dalam dunia
pendidikan tradisional. Ia adalah K.H. A. Wahid Hasyim, salah seorang putera
dari K.H. Hasyim Asy’ari. Ia lahir di
Jombang pada hari Jum’at
Legi 5 Rabi’ul Awal 1333 H/1 Juni 1914. Putera laki-laki pertama Hadratus
Syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah NU.[12] K.H. A. Wahid Hasyim dikenal banyak orang
sebagai salah seorang generasi muda NU (organisasi yang diidentikkan dengan
organisasi tradisionalis) yang reformis, modernis, populis sekaligus progresif.[13]
Melihat
dari latar belakang sejarah, pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan
Islam di Indonesia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal
ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, bila dirunut kembali sesungguhnya
pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama
atau da’i.[14]
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam sistem pendidikan di
pesantren pada masa-masa awal hanya berkisar pada pengajaran keagamaan,
kemudian pesantren juga menganut sistem dan pola pengajaran tradisional semisal
sorogan, bandongan, halaqoh, hafalan dan wetonan.[15]
Menurut K.H. A. Wahid Hasyim, hal itu harus segera diubah. Tidak
lain karena hasil dari lulusan pesantren dari dulu tugasnya di masyarakat hanya
seputar isu sosial dan keagamaaan. Padahal kondisi negara dan bangsa Indonesia
sedang dalam penjajahan bangsa asing. Penjajahan itu mengakibatkan perjuangan
pergerakan dan organisasi perjuangan nasional akhirnya banyak terisi dari
kalangan elite pelajar perkotaan dengan sekolah sekulernya.[16]
Oleh karena itu, K.H. A. Wahid Hasyim berinisiatif mengembangkan
dan memasukkan disiplin ilmu umum
dalam kurikulum pengajaran pesantren. Kemudian sistem pendidikan tradisional,
seperti wetonan dan bandongan diubah dan dikembangkan dengan
diterapkannya sistem madrasah atau klasikal dalam pendidikan pesantren.[17]
Upaya pembaruan yang dilakukan oleh K.H. A. Wahid Hasyim
dalam dunia pendidikan Islam bermula dari upaya yang dilakukannya dalam
memodernisasi pesantren Tebuireng Jombang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofir, ia
mengatakan bahwa K.H. A. Wahid Hasyim memainkan peranan penting bagi
modernisasi Tebuireng.[18]
Salah
satu pembaruan K.H. A. Wahid Hasyim yang direkam sejarah, diantaranya adalah
bersama-sama kiai Ilyas, membasmi faham yang mengharamkan belajar huruf latin
dan pengetahuan umum. Usaha pembasmian itu merupakan langkah yang cukup berani
sebab, di kalangan pesantren khususnya, masih memiliki pandangan yang kuat
bahwa mempelajari huruf latin dan pengetahuan umum hukumnya haram.
Berbagai macam upaya yang dilakukan oleh K.H. A.
Wahid Hasyim tersebut, tiada lain adalah ingin mendudukkan santri sejajar,
bahkan bila mungkin lebih tinggi dengan kelompok pelajar lainnya. Untuk itulah,
ia langsung fokus menggarap pesantren milik ayahnya di Tebuireng.[19]
Meski
tidak pernah mengenyam pendidikan modern, namun wawasan K.H. A. Wahid Hasyim sangatlah luas.
Berkembangnya madrasah di Indonesia awal abad ke-20 merupakan wujud dari
upaya pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan oleh cendekiawan Muslim
termasuk K.H. A.
Wahid Hasyim.[20]
Berdasar
pada beberapa hal di atas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
terkait bagaimana Konsep Pemikiran Pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim.
Gagasan-gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam yang diupayakan oleh K.H. A.
Wahid Hasyim pada waktu itu menarik untuk ditelaah lebih dalam, hal ini karena
keadaan sosio-kultural masyarakat pada waktu itu masih jauh dari sikap terbuka
terhadap perubahan. Dengan keadaan yang seperti itu, maka tak berlebihan
kiranya apabila kemudian sosok K.H. A. Wahid Hasyim oleh Imam Suprayogo
dikatakan sebagai; “orang yang berani dan telah melakukan lompatan berfikir yang amat jauh,
keluar dari sarang tradisi masyarakatnya, lalu masuk ke dalam dunia modern,
bahkan terlampau fenomenal untuk ukuran pada saat itu.”[21]
B.
Fokus Penelitian
Berangkat dari hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1.
Bagaimana
konsep pemikiran pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim?
2.
Bagaimana
tipologi pemikiran pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim?
3.
Bagaimana
relevansi pemikiran pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim dengan pendidikan
Indonesia saat ini?
C.
Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian
dalam penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis
konsep pemikiran pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim.
2.
Menganalisis
tipologi pemikiran pemikiran pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim.
3.
Menganalisis
relevansi pemikiran pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim dengan pendidikan
Islam Indonesia saat ini.
D.
Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
1.
Sebagai
sebuah momentum bagi penulis untuk memperluas cakrawala pemahaman tentang
konsep pemikiran pendidikan Islam.
2.
Sebagai
salah satu sumbangan pemikiran dari penulis yang merupakan wujud aktualiasi
diri sebagai insan akademika yang bergelut dalam dunia pendidikan Islam.
3.
Sebagai
salah satu sumber informasi bagi pembaca tentang pentingnya pembaruan
pendidikan demi tercapainya maksud dan tujuan dalam pengembagan pendidikan,
utamanya dalam pengembangan pendidikan Islam.
E.
Ruang
Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul yang penulis teliti dan untuk menjaga
kemungkinan adanya kekaburan pemahaman terhadap judul ini, maka perlu kiranya
penulis kemukakan ruang lingkup untuk membantu dan mempermudah memahaminya.
Adapun ruang lingkup pembahasan mengenai konsep pemikiran pendidikan Islam K.H.
A. Wahid Hasyim meliputi; tujuan pendidikan islam, kurikulum pendidikan islam,
dan metode pembelajaran. Analisa mengenai tipologi pemikiran pendidikan K.H. A.
Wahid Hasyim, peneliti analisis dengan teori yang dikemukakan oleh Muhaimin
yang meliputi; tekstualis salafi, tradisional madzhabi, modernis dan
neo-modernis.
F.
Orisinalitas Penelitian
1.
Penelitian Terdahulu
Telah terdapat beberapa penelitian terdahulu tentang K.H. A. Wahid
Hasyim yang dilakukan dan dikaji oleh para peneliti maupun praktisi
pendidikan. Di antara penelitian terdahulu mengenai K.H. A. Wahid Hasyim antara
lain:
a.
Penelitian
dalam tesis Ahmad Zaini (1998), mahasiswa Pascasarjana
McGill University Canada, yang berjudul Kiai Haji Abdul Wahed Hasyim: His
Contribution To Muslim Educational Reform And To Indonesian Nationalism During
The Twentieth Century. Dalam penelitian ini dibicarakan tentang kontribusi
Wahid Hasyim dalam pengembangan lembaga pendidikan tradisional (pesantren)
serta keterlibatannya dalam politik selama era kolonial dan era kemerdekaan.
Dalam konteks pembaruan pendidikan tradisional, hal tersebut dilatarbelakangi
oleh fakta akan terbelakangnya lulusan pesantren dibandingkan dengan lulusan
sekolah-sekolah Belanda. Dalam konteks politik, Wahid Hasyim memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.[22]
b.
Penelitian
dalam Tesis A. Halim (2008), Mahasiswa Program Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, tentang Dinamika Kepemimpinan Kiai
dalam Mengembangkan Lembaga Pendidikan (Studi Kasus Pesantren Tebuireng). Penelitian
ini membicarakan tentang bagaimana pola-pola kepemimpinan ketujuh pimpinan
(pengasuh) pondok pesantren Tebuireng Jombang dalam mengembangkan pendidikan di
pesantren tersebut sejak masa kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. A. Wahid
Hasyim, hingga pada era saat ini yang dipimpin oleh K.H. Shalahuddin Wahid.
K.H. A. Wahid Hasyim dalam tesis ini disebut
sebagai pengasuh pesantren yang tipe kepemimpinannya bersifat kharismatik dan efektif dengan mempertimbangkan berbagai
perkembangan modern di luar negeri. Reorientasi arah pendidikan pesantren yang
dilakukan Kiai Wahid Hasyim berdasarkan realita tuntutan kebutuhan masyarakat
yang tidak hanya membutuhkan figur ulama tetapi juga figur birokrat maupun
pengusaha yang dilahirkan dari pendidikan di pesantren.[23]
c.
Penelitian dalam Skripsi Rijal Mumazziq S
(2009), mahasiswa Fakultas Syari’ah jurusan Siyasah Jinayah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, tentang Relasi Agama dan Negara
dalam Perspektif K.H Wahid Hasyim dan Relevansinya dengan Kondisi Sekarang. Penelitian ini merupakan penelitian yang memfokuskan pada
penggalian informasi mengenai pandangan K.H. A. Wahid Hasyim mengenai
relasi agama dan negara serta
relevansi pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim tentang agama dan
negara dengan kondisi Indonesia saat ini.
Dalam penelitian ini disebutkan bahwa KH.
A. Wahid Hasyim merupakan pemikir yang dinamis. Sebagai agamawan, ia konsisten
dalam pemikiran keislaman. Sebagai negarawan, ia mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa. Pengorbanan yang layak dicatat adalah, meskipun ia
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dengan mendukung pencantuman tujuh
anak kalimat dalam Piagam Jakarta, namun ia rela menghapus tujuh kata itu, demi
mengutamakan persatuan dan keutuhan bangsa.[24]
d.
Penelitian
dalam skripsi Ahmad Nadirin (2001), mahasiswa Fakultas Adab IAIN (UIN saat ini)
Sunan Kalijaga Yogyakarta, tentang Kiprah Politik K.H. A. Wahid Hasyim
(1938-1953). Skripsi ini membahas riwayat K.H. A. Wahid Hasyim putera K.H.
Hasyim Asy’ari, tentang kiprah-kiprahnya di dunia politik Indonesia sejak
sebelum kemerdekaan, dengan keterlibatannya Wahid Hasyim dalam perpolitikan di
Masyumi serta keterlibatannya pula dengan menjadi bagian dari BPUPKI, hingga
setelah Indonesia merdeka dengan mengambil sikap untuk keluarnya NU dari
keanggotaan Masyumi yang dulu pernah dipimpinnya. Kedudukan Wahid Hasyim
sebagai Menteri Agama juga dicatat sebagai salah satu peran Wahid Hasyim dalam
perpolitikan di Indonesia.[25]
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah, dalam
penelitian ini penulis menitik beratkan penelitiannya terhadap konsep pemikiran
pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim, dengan mempertimbangkann pula relevansi
pemikiran pendidikannya dengan wacana pendidikan Islam Indonesia saat ini.
2.
Tabel Orisinalitas Penelitian.
Berikut kami sertakan pula tabel orisinalitas yang tentu berguna
dalam uji orisinalitas penelitian yang akan di teliti oleh peneliti. Dalam
tabel ini akan disebutkan persamaan serta perbedaan penelitian yang akan
diteliti oleh peneliti dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yang berada dalam satu tema kajian tentang K.H. A. Wahid Hasyim.
Tabel 1.1
Tabel Orisinalitas Penelitian
NO
|
Peneliti
|
Judul dan Tahun Penelitian
|
Persamaan dan Perbedaan
|
1
|
Ahmad Zaini
(mahasiswa Pascasarjana
McGill University Canada)
|
- Kiai Haji Abdul Wahed Hasyim: His
Contribution To Muslim Educational
Reform And To Indonesian Nationalism During
The Twentieth Century.
- Thesis tahun 1998
|
-
Persamaan
Penelitian
ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan sama-sama Kajian
Pustaka (Library Research)
-
Perbedaan
penelitian
ini lebih membicarakan tentang kontribusi Wahid Hasyim dalam pengembangan
lembaga pendidikan tradisional (pesantren) serta mengupas keterlibatannya
dalam politik selama era kolonial dan era kemerdekaan.
|
2
|
A. Halim (Mahasiswa Program Pascasarjana Institut Agama Islam
(IAIN) Sunan Ampel Surabaya)
|
- Dinamika Kepemimpinan Kiai
dalam Mengembangkan Lembaga Pendidikan (Studi Kasus Pesantren Tebuireng).
- Masters thesis,
IAIN Sunan Ampel, 2008
|
-
Persamaan
Penelitian
ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan sama-sama Kajian
Pustaka (Library Research)
-
Perbedaan
Penelitian
ini memfokuskan penelitiannya pada pembahasan mengenai pola-pola kepemimpinan
ketujuh pengasuh pesantren Tebuireng Jombang sejak era K.H. Hasyim Asy’ari,
K.H. A. Wahid Hasyim hingga era kepemimpinan K.H. Shalahuddin Wahid dalam
mengembangkan lembaga pendidikan di pesantren tersebut.
|
3
|
Rijal Mumazziq S (mahasiswa Fakultas Syari’ah, jurusan Siyasah
Jinayah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya)
|
- Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif K.H Wahid Hasyim dan
Relevansinya dengan Kondisi Sekarang.
- Skripsi tahun 2009
|
-
Persamaan
Penelitian
ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan sama-sama Kajian
Pustaka (Library Research)
-
Perbedaan
Fokus
penelitiannya meliputi:
a. pandangan K.H. A. Wahid Hasyim mengenai relasi agama dan negara serta
b. relevansi pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim tentang agama dan
negara dengan kondisi Indonesia saat ini.
|
4
|
Ahmad Nadirin
(mahasiswa Fakultas Adab IAIN (UIN saat ini) Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
|
- Kiprah Politik K.H. A. Wahid
Hasyim (1938-1953).
- Skripsi tahun 2001
|
-
Persamaan
Penelitian
ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti merupakan sama-sama
Kajian Pustaka (Library Research).
-
Perbedaan
Fokus
penelitiannya meliputi:
a.
Biografi
Wahid Hasyim
b.
Peran
politik Wahid Hasyim masa sebelum hingga setelah kemerdekaan
|
G.
Defnisi Istilah
1.
Pemikiran
Pendidikan Islam
Secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-Najhi yang dikutip
oleh Abdul Munir Mulkhan, pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran
yang teratur dengan mempergunakan metode filsafat. Pendekatan tersebut
dipergunakan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan
dalam sebuah sistem yang integral.[26]
Oleh karena itu, maka yang dimaksud dengan Pemikiran Pendidikan
Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara
sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan
Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu
menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan yang ditawarkan mampu berapresiasi
terhadap dinamika peradaban modern secara adaptik dan proporsional, tanpa harus
melepaskan nilai-nilai Ilahiyah sebagai nilai warna dan nilai kontrol.[27]
2.
Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang
kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Bila di singkat, pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia
menjadi Muslim semaksimal mungkin.[28]
Menurut Muhaimin, dalam konteks historik-sosiologik pendidikan
Islam dimaknai sebagai pendidikan/pengajaran keagamaan atau keIslaman (tarbiyah
al-diniyah, ta’lim al-din, dan al-ta’lim al-Islami) dalam rangka tarbiyah
al-muslimin (mendidik orang-orang Islam), untuk melengkapi dan/atau
membedakannya dengan pendidikan sekuler (non keagamaan/ non keIslaman).[29]
3.
K.H.
A. Wahid Hasyim.
K.H. A. Wahid Hasyim, salah seorang putera dari
K.H. Hasyim Asy’ari. Ia lahir di Jombang
pada hari Jum’at Legi 5 Rabi’ul Awal 1333 H/1
Juni 1914. Putera laki-laki pertama Hadratus Syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari,
pendiri jam’iyah NU.[30]
K.H. A. Wahid Hasyim dikenal banyak orang
sebagai salah seorang generasi muda NU (organisasi yang diidentikkan dengan
organisasi tradisionalis) yang reformis, modernis, populis sekaligus progresif.[31]
H.
Kajian Pustaka
1.
Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam
merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan
manusia menuju taklif (kedewasaan), baik
secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang di
emban sebagai seorang hamba (abd)
di hadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta.[32] Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn
peserta didik (generasi penerus)
dengan kemampuan dan keahlian
(skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah
masyarakat (lingkungan),
sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
a.
Pengertian Pendidikan Islam
Menunjuk istilah pendidikan, manusia mempergunakan istilah tertentu. Dalam bahasa Inggris, penunjukan tersebut
dengan menggunakan istilah education.[33] Dalam bahasa
Arab, pengertian pendidikan, sering
digunakan beberapa istilah antara lain, al-ta’lim, al-tarbiyah, dan al-ta’dib. Namun ketiga kata tersebut
memiliki makna tersendiri
dalam menunjuk pada pengertian pendidikan.
1)
Kata
al-ta’lim menurut Al-Attas
dalam buku Azas-Azas Pendidikan Islam Hasan Langgulung yang berarti pengajaran,[34] yang bersifat pemberian
atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Pengertian al-ta’lim hanya sebatas proses pentransferan seperangkat nilai antar
manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai nilai yang ditransfer secara kognitif
dan psikomotorik, akan tetapi tidak
dituntut pada domain afektif.[35]
2)
Kata
al-tarbiyah, yang berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara. Dari hasil
penelusuran kata al-tarbiyah, maka istilah kata ini dapat mewakili makna
pendidikan Islamiyah. Hal ini di sebabkan kata tersebut memiliki arti
hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai
perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi. Di samping itu
juga, pengertian al-tarbiyah mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik
antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Oleh karena itu menurut
Abdurrahman Al-Bani yang dikutip An-Nahlawi dalam buku Samsul Nizar.[36]
mengandung makna:
a.
Menjaga dan memelihara
pertumbuhan fitrah (potensi) anak didik untuk mencapai
kedewasaan.
b.
Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung
(terutama bagi akal dan budinya).
c.
Mengarahkan seluruh potensi
yang dimiliki anak didik menuju kebaikan dan kesempurnaan, seoptimal mungkin.
d.
Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai
dengan irama
perkembangan diri anak didik.
Dari penjabaran makna di atas, berarti pendidikan yang
ditawarkan haruslah berproses,
terencana, sistematis,
memiliki sasaran yang ingin dicapai, ada
pelaksana, serta memiliki teori-teori
tertentu. Dengan demikian
maka istilah al-tarbiyah telah mencakup seluruh domain yang ada yakni kognitif, afektif dan psikomotorik.
3)
Kata
al-ta’dib dapat diartikan kepada proses
mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan
dan penyempurnaan akhlak atau
budi pekerti peserta didik. Orientasi kata al-ta’dib lebih berfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim
yang berakhlak mulia.[37]
Berdasarkan
pengertian di atas, maka cakupan kata yang paling tepat untuk menyebut makna
dari pendidikan menurut Islam adalah kata al-ta’dib, sebab puncak dari
pendidikan adalah ketinggian akhlak, sehingga dalam kata al-ta’dib tercakup
pengertian pengembangan intelektual, pengembangan pribadi dan pengembangan sosial
yang akan mengembangkan aspek penghayatan –aspek spiritual- tentang keberadaan
dirinya. Hal ini disebabkan puncak ketinggian akhlak manusia hanya bisa dicapai
setelah ketiga aspek tersebut yakni, kecerdasan intelektual, kecerdasan diri
dan kecerdasan sosial yang akan mengantarnya kepada kecerdasan spiritual secara
optimal.[38]
Dari berbagai
literatur ditemukan bahwa terminologi “Pendidikan Islam” digunakan untuk
merujuk dua hal yaitu, lembaga pendidikan Islam dan pengajaran Islam.[39]
Pertama, pendidikan Islam diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan Islam pada awal berdirinya memang hanya mengajarkan
kurikulum yang terkait dengan agama Islam “ilmu agama” seperti syari’at atau
fiqh, tetapi dalam perkembangannya beberapa juga mengajarkan yang disebut “ilmu
umum”, mulai dari tingkat madrasah ibtidaiyah sampai dengan perguruan tinggi.
Pesantren dan madrasah adalah contoh klasik lembaga pendidikan Islam yang
sangat berperan sampai saat ini, bahkan mulai sebelum kelahiran Indonesia.
Cikal bakal pendidikan Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman awal penyebaran
Islam di Indonesia oleh para wali.
Sampai saat
ini, pemisahan lembaga pendidikan yang mengajarkan kedua jenis ilmu ini masih sangat kental.
Padahal dalam masa perkembangan awal Islam, pemisahan ini tidak terjadi karena
lembaga pendidikan Islam pada waktu itu juga menyerap pengetahuan dari dunia
luar Islam seperti Yunani dan Persia. Tetapi saat ini, hampir di semua negara
Muslim, termasuk Indonesia, terdapat dua sistem pendidikan, tradisional dan
modern yang seringkali dirujuk sebagai sekuler. Dalam banyak literatur
disinyalir bahwa pemisahan ini dianggap sebagai salah satu sebab kemunduran
Islam.[40]
Kedua, terminologi Pendidikan Islam juga digunakan untuk merujuk kepada
pengajaran Islam yang tidak terbatasi hanya pada lembaga pendidikan Islam saja,
tetapi juga pada pendidikan “umum”. Jika arti ini yang diambil maka pendidikan
Islam mempunyai makna yang lebih luas dan universal. Husain dan Ashraf mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai:
“an
education which trains the sensibility of pupils in such a manner that in their
... approach to all kinds of knowledge they are governed by the deeply felt
ethical values of Islam. They are trained and mentally so disciplined that they
want to acquire knowledge not merely to satisfy an intellectual curiosity or
just for material worldly benefit but to grow up as rational, righteous beings
and to bring about the spiritual, moral and physical welfare of their families,
their people and mankind. Their attitude derives from a deep faith in God and a
wholehearted acceptance of a God-given moral code”[41]
Pada Konferensi
Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam yang digelar di Makkah pada tahun 1977,
disepakati definisi umum pendidikan Islam sebagai berikut:
“Pendidikan
Islam adalah proses pengajaran, bimbingan, pelatihan, dan keteladanan, untuk
mencapai pertumbuhan keperibadian manusia dalam semua aspeknya baik fisik, intelektual,
spiritual, imajinatif, keilmuan, bahasa, dan sebagainya, dilakukan secara
individual maupun kolektif, melalui cara mendorong seseorang guna mencapai
kesempurnaan, sehingga sampai pada tujuan akhir yaitu pengabdian yang sempurna
kepada Allah.”[42]
Secara umum kedua
definisi tersebut mengindikasikan bahwa yang menjadi tujuan pendidikan Islam
adalah membentuk manusia sempurna (insan kamil) yang bermuara pada
penghambaan kepada Allah. Dalam pendidikan Islam, tidak satupun aspek dalam
pengembangan manusia yang tidak tersentuh, mulai dari (1) membantu pengembangan
individu, (2) meningkatkan pemahaman masyakarat terhadap aturan-aturan sosial
dan moral, dan (3) mentransmisikan pengetahuan. Ketiga hal ini dicapai dengan
implementasi ketiga prinsip dalam pendidikan Islam, mulai dari (1) tarbiyah
(to grow, increase), (2) ta’dib (to refined, disciplined, cultured)
dan (3) ta’lim (to know, be inform, perceive, discern).
Jika demikian
halnya, maka pemisahan “ilmu agama” dan “ilmu umum” menjadi tidak relevan.
Hanya saja masalahnya tidak sesederhana memisahkan air dan minyak, karena “ilmu
umum” yang sekarang berkembang juga tidak lepas – atau paling tidak dicurigai –
bermuatan nilai Barat yang seringkali dianggap tidak sesuai dengan Islam.
Inilah yang kemudian menjadi landasan utama proyek Islamisasi ilmu pengetahuan
yang diusung seperti oleh Isma’il Raji al-Faruqi, Syed Husain Nasr dan Fazlur
Rahman.[43]
Pernyataan yang lebih konkrit disampaikan oleh Muhaimin. Menurutnya pendidikan Islam dapat dikategorisasikan pada
dua kelompok, yaitu: pertama, pendidikan islam merupakan sistem
pendidikan yang sengaja diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk
mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam praktiknya di Indonesia,
pendidikan Islam ini setidak-tidaknya dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis,
yaitu:
1. Pondok
Pesantren atau Madrasah Diniyah, yang menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional disebut sebagai pendidikan kagamaan (Islam) formal
seperti Pondok Pesantren/ Madrasah Diniyah (Ula, Wustha, ‘Ulya dan Ma’had Ali);
2. Madrasah
dan pendidikan Lanjutannya seperti IAIN/STAIN atau Universitas Islam Negeri
yang bernaung dibawah naungan Departemen Agama;
3. Pendidikan
usia dini/ TK, sekolah/ Perguruan Tingi yang diselenggarakan oleh dan/ atau
berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam;
4. Pelajaran
agama Islam di Sekolah/ Madrasah/ Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran
atau mata kuliah, dan/ atau sebagai program studi; dan
5. Pendidkan
Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan atau di forum-forum
kajian keislaman, majelis taklim, dan institusi-institusi lainnya, seperti
pengajian arisan dan sebagainya, yang sekarang sedang digalakkan oleh
masyarakat, atau pendidikan Islam melalui jalur pendidikan nonformal dan
informal.[44]
Kedua, pendidkan
Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati
atau dijiwai oleh ajaran
dan nilai-nilai Islam. Dalam pengertian yang kedua ini, pendidikan Islam bisa
mencakup: (1) pendidik/guru/dosen, kepala madrasah/sekolah atau pimpinan
perguruan tinggi dan atau tenaga kependidikan lainnya yang melakukan dan
mengembangkan aktivitas kependidikannya disemangati atau dijiwai dan/atau
berusaha mewujudkan ajaran dan nilai-nilai Islam; atau (2) lembaga pendidikan
dan komponen-komponenya, seperti tujuan, materi/bahan ajar, sarana prasarana,
alat/media/sumber belajar, metode (proses) pembelajaran, evaluasi,
lingkungan/konteks, manajemen dan lain-lain yang disemangati atau dijiwai oleh
ajaran dan nilai-nilai Islam, atau yang berciri khas Islam.
Dari kedua pengertian pendidikan
Islam tersebut, maka pengertian pertama lebih menekankan pada aspek kelembagaan
dan program pendidikan Islam, dan yang kedua lebih menekankan pada aspek spirit
Islam yang melekat pada setiap aktivitas pendidikan. Namun demikian, inti dari
kedua pengertian tersebut pada dasarnya terletak pada substansinya yang hendak
mengembangkan spirit Islam dalam aktivitas pendidikan, baik dalam prosesnya, lembaganya, guru
dan peserta didiknya, maupun dalam penciptaan konteks/lingkungan.[45]
b.
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat
diwakili oleh
pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Ketiga institusi pendidikan di atas
memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman
yang sama baik secara fungsional dan substansional. Secara fungsional ketiga lembaga pendidikan tersebut sebagai wadah untuk menggembleng
mental, moral dan spiritual generasi
muda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi
manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Sedangkan secara substansial dapat dikatakan
bahwa ketiga institusi
tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual seorang kiai,
ustadz, guru yang tidak semata-mata di dasari oleh motif materiil,
tetapi sebagai pengabdian kepada Allah. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang diungkapkan oleh al-Ghazali yaitu mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata-mata untuk
pangkat maupun bermegah-megahan.[46]
1)
Pesantren.
Pesantren menurut
pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok
berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu”. Di
samping itu, “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “fanduk” yang
berarti “hotel atau asrama”. Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering
digunakan untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau
yang lebih terkenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan
Madura, umumnya dipergunakan istilah pesantren atau pondok.[47] Di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkung atau meunasah,
sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Adapun pengertian secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa
pendapat yang mengarah pada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, memaknai
pesantren secara teknis, a place where santri (student) live, sedangkan Abdurrahman
Mas’oed menulis, the word pesantren stems from “santri” which means one who
seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the
santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge.
Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti orang yang mencari
pengetahuan Islam, yang pada umumnya kata pesantren mengacu pada suatu tempat, di mana santri menghabiskan kebanyakan
dari waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan.[48]
Pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan tertua di Indonesia dan sejarahnya telah mengakar
selama berabad-abad. Sebagai lembaga pendidikan
khas Indonesia, khususnya Jawa, pesantren memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat ditemui dalam
sejarah peradaban Timur
Tengah sekalipun. Menurut Nurcholis Madjid dalam bukunya yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren, menyebutkan
bahwa pesantren mengandung
makna keislaman
sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren”
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah Sansekerta “sastri” yang
berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti
gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat difahami bahwa
pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; santri, kiai dan asrama
(pondok).[49]
Dalam pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa
fase perkembangan.
Hasil penelitian LP3S Jakarta, telah mencatatkan 5 macam pola fisik pondok
pesantren, sebagai berikut.
- Pondok pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah Kiai.
Pondok pesantren seperti ini masih bersifat sederhana sekali, di mana Kiai
masih mempergunakannya untuk tempat mengajar, kemudian santri hanya datang dari
daerah sekitar pesantren itu sendiri.
- Pondok pesantren selain masjid dan rumah Kiai, juga telah memiliki
pondok atau asrama tempat menginap para santri yang datang dari daerah-daerah
yang jauh.
- Pola keempat ini, di samping memiliki kedua pola tersebut di atas
dengan sistem weton dan sorogan, pondok pesantren ini telah menyelenggarakan
sistem pendidikan formal seperti madrasah
- Pola ini selain memiliki pola-pola tersebut di atas, juga telah
memiliki tempat untuk pendidikan ketrampilan, seperti peternakan, perkebunan
dan lain-lain.
- Dalam pola ini, di samping memiliki pola keempat tersebut, juga
terdapat bangunan-bangunan seperti: perpustakaan, dapur umum, ruang makan,
kantor administrasi, toko, dan lain sebagainya. Pondok pesantren tersebut telah
berkembang atau bisa juga disebut pondok pesantren pembangunan.
Menurut Zamakhsyari Dhofir bahwa pesantren digolongkan kecil bila
memiliki santri di bawah 1000 orang yang pengaruhnya hanya sebatas kabupaten.
Pesantren sedang, memiliki santri antara 1000-2000 orang yang pengaruhnya
meliputi beberapa kabupaten. Pesantren besar memiliki santri lebih dari 2000
orang dan biasanya berasal dari beberapa propinsi.[50]
a)
Fungsi Pesantren
Mastuhu mengklasifikasikan fungsi pesantren pada tiga hal yaitu, sebagai lembaga pendidikan,
sebagai lembaga sosial dan juga berfungsi sebagai lembaga penyiaran agama.
Pertama, sebagai lembaga
pendidikan, pesantren menyelenggarakan lembaga pendidikan formal (madrasah,
sekolah umum, dan perguruan tinggi), dan pendidikan non formal yang secara
khusus mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid dan tasawuf yang hidup antara
abad ke-7 sampai 13 Masehi. Kitab-kitab yang dipelajarinya meliputi: tauhid,
tafsir, hadits fiqh, ushul fiqh, tasawuf, bahasa Arab (nahwu, sharaf,
balaghah, dan tajwid), mantiq dan akhlak.[51]
Kedua, sebagai lembaga sosial,
pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa
membeda-bedakan tingkat sosial-ekonomi orang tuanya. Biaya hidup di pesantren
relative lebih murah daripada belajar di luar pesantren. Pada beberapa
pesantren tertentu, santri membangun pondoknya sendiri diatas tanah yang telah
disediakan oleh pesantren tanpa dipungut biaya. Beberapa orang tua sengaja
mengirimkan anaknya ke pesantren dan menyerahkan kepada kiai untuk diasuh.
Mereka percaya penuh bahwa kiai tidak akan menyesatkannya, bahkan sebaliknya
dengan berkah kiai, anak tersebut akan menjadi orang baik. Juga banyak
anak-anak yang nakal atau memiliki tanda-tanda tingkah laku menyimpang,
dikirimkan ke pesantren oleh orang tuanya dengan harapan sembuh dari
kenakalannya.[52]
Ketiga, sebagai lembaga
penyiaran agama, setiap hari pesantren menerima tamu yang datang dari
masyarakat umum, baik dari masyarakat lingkar pesantren maupun dari masyarakat jauh
meliputi radius kabupaten, provinsi, bahkan dari provinsi-provinsi lain.
Kedatangan mereka adalah untuk bersilaturrahim, berkonsultasi,
minta nasihat, “doa-doa”, berobat, dan minta “ijazah”, yaitu semacam “jimat”
untuk menangkal gangguan hidup.
Sementara itu, kiai, ustadz dan santri-santri senior pada umumnya
memiliki daerah dakwah masing-masing. Luas tidaknya daerah dakwah tergantung
pada besar kecilnya popularitas masing-masing pelaku dan pesantren yang bersangkutan.
Masing-masing kiai memiliki daerah dakwah sendiri-sendiri, ada yang berskala
nasional, ada yang berskala provinsi, kabupaten, kecamatan, dan bahkan ada yang
hanya berskala meliputi beberapa desa tertentu saja. Demikian pula halnya
dengan para ustadz dan santri-santri senior lainnya, yang pada umumnya memiliki
daerah dakwah lebih sempit daripada daerah dakwah kiai.[53]
Sehubungan dengan ketiga fungsi pesantren tersebut, maka pesantren
memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan
menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Masyarakat umum memandang
pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan
moral keagamaan.
Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan
utuh. Meskipun demikian tampak bahwa fungsinya sebagai lembaga pendidikan
menjadi semacam ujung tombaknya, sedangkan fungsinya sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama
menjadi sayap-sayap sebelah kiri dan kanannya.[54]
b)
Perkembangan Pendidikan Pesantren
Pesantren di Indonesia pada masa penjajahan
kolonial Belanda tidak berkembang
secara baik. Kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda
berupaya membatasai dan menghambat perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang
bertugas mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Berselang tidak
begitu lama kemudian, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan
bahwa guru-guru agama yang
akan mengajar harus mendapatkan izin dari
pemerintah setempat. Peraturan
yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh
memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya,
pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan
yang
dapat memberantas dan menutup madrasah
dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
yang memberikan
pelajaran yang tidak disukai pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan, perkembangan pesantren juga belum
menggembirakan. Pada tahun 1949,
setelah penyerahan kedaulatan, pemerintah Indonesia justru mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya
dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi
bangsa Indonesia terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijakan tersebut mengakibatkan penurunan minat untuk masuk pesantren.
Hingga pada tahun 1978 ketika
Mukti Ali menjabat menteri Agama terjadi
warna baru di lingkungan pesantren yang membawa perjalanan politik
kaum santri.
Ketika itu Mukti Ali membuat kebijakan
untuk memasukkan
sekitar 70 persen mata pelajaran
umum ke dalam kurikulum madrasah.
Berkat pembaharuan di lingkungan pesantren inilah
ekuivalensi pendidikan madrasah dengan sekolah umum diakui.[55]
Menurut Azra sejak digulirkannya kebijakan tersebut
pesantren berkembang menjadi lembaga yang tidak saja mencakup dengan pendalaman masalah agama (tafaquh fi
al-din) dan madrasah tetapi juga pendidikan umum. Bahkan, pesantren juga
menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi
rakyat. Pesantren tidak lagi hanya terdapat di pedesaan; sejak 1980-an, banyak
pesantren bermunculan di kawasan perkotaan. Semua itu juga, yang membuat
anak-anak lulusan pesantren, sejak 1980-an mampu berkompetisi dan sukses
melanjutkan pendidikan di mancanegara; tidak hanya di negara-negara Timur
Tengah, namun juga di negara-negara Barat. Mereka ini pada gilirannya
memperkaya dan memperkuat generasi baru kaum terpelajar dan intelektual Muslim
di Indonesia.
Pendidikan pesantren adalah pendidikan tertua di Indonesia, hingga
saat ini model pendidikan pesantren masih bertahan di tengah-tengah modernisasi
pendidikan di luar pesantren itu sendiri. Tetapi, juga harus diakui bahwa
pesantren-pesantren yang dulu pernah mengalami kejayaan, sebagian mengalami kesurutan sejarah karena
regenerasi para kiainya tidak disiapkan dalam pengkaderan serius. Sementara
arus sedemikian kuat terhadap pesantren, justru dunia pesantren tertantang
untuk menjawab problematika pendidikan di masyarakat.[56]
Dengan demikian, pesantren sesungguhnya terbangun dari konstruksi kemasyarakatan dan epistemologi sosial yang menciptakan suatu transendensi atas
perjalanan historis sosial. Sebagai center of knowledge, dalam pendakian
sosial, pesantren mengalami metamorfosis yang berakar pada konstruksi
epistemologi dari variasi pemahaman di kalangan umat Islam. Hal yang menjadi
titik penting ialah kenyataan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu
terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir terbuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan, dan
kepedulian sosial. Konsepsi perilaku (sosial behavior) yang ditampilkan
pesantren ini mempunyai daya rekat sosial yang tinggi dan sulit ditemukan pada
institusi pendidikan lainnya.[57]
c)
Pembaharuan Pesantren
Pembaharuan pesantren pada tahun 1970-an, terutama yang ditulis oleh
A. Mukti Ali, difokuskan pada sistem pendidikan dan pengajaran. Pembaharuan ini
dilakukan dengan argument: (1) di pesantren terdapat madrasah, (2) tolok ukur
baik atau tidaknya pesantren terletak pada seberapa jauh dapat menunjang
pembangunan Nasional, (3) pesantren, pada umumnya, berada di luar kota atau di
desa-desa dan sebagian besar santri adalah anak-anak petani dan nelayan, dan
(4) pesantren mempunyai jasa yang besar dalam kebangkitan nasional dan dalam
mempertahankan Negara Kedaulatan Republik Indonesia, serta (5) merupakan tempat
pendidikan yang paling utama dalam menanamkan dan menyiarkan ajaran Islam di
kalangan masyarakat Indonesia.[58]
Sasaran yang akan diperbaharui adalah pertama,
mental mau dibangun diganti dengan mental membangun, yang memiliki
ciri-ciri; (a) sikap terbuka, kritis, dan suka meneliti, (b) melihat ke depan,
(c) teliti dalam bekerja, (d) mempunyai inisiatif dalam menggunakan metode-metode baru
untuk berbuat sesuatu sekalipun anggota masyarakat lainnya belum atau tidak
mempergunakannya, (e) lebih sabar dan tahan bekerja dan (f) bersedia bekerja
sama dengan lembaga-lembaga lain. Kedua, pembaharuan kurikulum pondok
pesantren, dan ketiga, pengajaran dan pendidikan yang berhubungan dengan
keterampilan kerja. Pembaharuan pondok pesantren diarahkan untuk jangka pendek
supaya dapat mencukupi tenaga kerja tingkat rendah dan menengah, dan untuk
jangka panjang, supaya dapat ikut aktif dalam pembangunan untuk menciptakan
masyarakat adil makmur lahir batin.[59]
Pembaharuan di pondok pesantren dilakukan
dengan cara menerapkan kurikulum “Wajib Belajar” secara bertahap. Kurikulum wajib
belajar adalah kurikulum yang disusun oleh H.A.M. Arifin Tem yang diperuntukkan
bagi anak yang berusia 6-14 tahun. Kurikulum ini menekankan kemajuan ekonomi,
industrialisasi, keterampuilan, swadaya dan daya cipta.
Upaya pembaharuan sistem pengajaran dan
pendidikan di pondok pesantren dilakukan dengan: (1) mengubah kurikulum supaya
berorientasi pada kebutuhan masyarakat, (2) kurikulum ala wajib belajar
hendaknya digunakan sebagai patokan untuk
pembaharuan itu, (3) mutu guru-gurunya hendaknya ditingkatkan, juga
prasarana-prasarana diperbaharui, (4) usaha pembaharuan ini hendaknya
dilaksanakan secara bertahap dengan didasarkan pada hasil-hasil penelitian
seksama tentang kebutuhan riil masyarakat yang sedang membangun, (5) hasil
usaha pembaharuan ini memakan waktu panjang. Oleh karena itu, bagi pihak-pihak
yang bertanggung jawab dalam sector pembangunan di luar sector pendidikan
diharapkan adanya pengertian yang sungguh-sungguh untuk tidak lekas-lekas
menarik kesimpulan bahwa pesantren tidak penting diusahakan pembangunan dan
pembaharuan, (6) pada hakikatnya, pembangunan dan pembaharuan sistem pengajaran
dan pendidikan di pondok pesantren sudah amat mendesak. Oleh karena itu,
Kementerian Agama dan pemimpin-pemimpin Islam, khususnya para kiai, harus lebih
serius menaruh perhatian dan bersikap positif terhadap usaha pembaharuan dan
pembangunan pondok pesantren.[60]
2)
Madrasah
Perkataan madrasah berasal dari
bahasa Arab yang artinya adalah tempat belajar. Padanan madrasah dalam bahasa
Indonesia adalah sekolah, lebih dikhususkan lagi sekolah-sekolah agama Islam.
Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, diartikan: name of an institution
where the Islamic science are studied. Artinya: nama dari suatu lembaga di
mana ilmu-ilmu keislaman diajarkan.[61]
Dengan keterangan tersebut dapat
dipahami bahwa madrasah tersebut adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan
untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di Indonesia ditujukan buat
sekolah-sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam. Madrasah pada prinsipnya
adalah kelanjutan dari system pesantren.[62]
Madrasah adalah salah satu jenis
lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia yang diusahakan di
samping masjid dan pesantren.[63] Meskipun madrasah pernah berkembang pada abad 11 dan 12,
atau periode pertengahan sejarah Islam, khususnya di wilayah Baghdad seperti
madrasah al-Nidzamiyah, kehadiran madrasah di Indonesia tampaknya
merupakan fenomena modern pada awal abad ke-20. Tampaknya tokoh Syekh Zainuddin
Labai dapat disebut sebagai tokoh pertama yang pada 10 Oktober 1915 mendirikan
lembaga pendidikan madrasah di Padang Panjang, sebelum berkembangnya lembaga
serupa di berbagai daerah. Madrasah di Indonesia itu bukan merupakan kelanjutan
atau adopsi langsung dari madrasah abad pertengahan.[64]
Dalam konteks Indonesia, lembaga pendidikan ini
merupakan lembaga madrasah Timur Tengah masa modern atau bahkan merupakan
lembaga persekolahan –karena pengaruh pendidikan Barat- yang diisi secara
dominan dengan kurikulum keagamaan. Meskipun demikian, karena pengaruh politik
penjajah, sekolah dan madrasah dipandang sebagai dua bentuk lembaga pendidikan
yang berbeda secara dikotomis: sekolah bersifat sekuler dan madrasah bersifat
Islam. Itulah sebabnya ketika masa awal kemerdekaan, perkembangan madrasah di
Indonesia mengalami konflik, yaitu; di satu pihak pemerintah ingin
menjadikannya sebagai lembaga pendidikan nasional –dengan memberi muatan-muatan
non keagamaan- di pihak lain, kalangan madrasah merasa hawatir akan fungsi
pendidikan keagamaannya jika madrasah dimasukkan ke dalam jajaran pendidikan
nasional.[65] Namun pada tahap-tahap selanjutnya terdapat
upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa tokoh terkemuka semisal K. Ahmad
Dahlan dan K.H. A. Wahid Hasyim yang berupaya memadukan pemahaman dikotomis
tersebut untuk menjadi satu kesatuan yang terpadu dalam sistem pendidikan
madrasah.
Madrasah adalah salah satu lembaga
pendidikan Islam
yang penting selain pesantren.
Keberadaaanya begitu penting dalam upaya meningkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
dan
menciptakan kader-kader bangsa yang
memiliki wawasan keislaman dan nasionalisme yang tinggi.
Madrasah berupaya mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Menyeimbangkan
keduanya untuk menggapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Q.S. (Al-Qasas (28): 77.
Di Indonesia,
permulaan munculnya madrasah
baru
terjadi sekitar abad ke-20.
Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah
tidak lepas dari dua faktor, yaitu; semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah)
dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah
Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah. Berdirinya
madrasah tidak terlepas dari adanya
kehawatiran terhadap sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda yang tidak
memasukkan pelajaran agama.
Para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah
pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus
memasukkan ke dalam madrasah
kurun pertumbuhan ini antara lain Adabiah School (1909)
dan
Diniyah School Labai al-Yunusi (1915) di Sumatera Barat, Madrasah Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah
Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul
Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah
Assulthaniyah di Kalimantan.[66]
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan madrasah mengalami perubahan
tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pendidikan Islam
pesantren. Karena madrasah mulai memasukkan
pelajaran-pelajaran umum dan metode yang digunakan tidak
lagi
dengan metode sorogan
atau bandongan, melainkan mengikuti sistem pendidikan modern dengan model
klasikal. Dengan demikian, madrasah
merupakan sub sistem pendidikan pesantren,
semisal yang dilakukan di Tebuireng. Pembaharuan sistem tersebut menyebar
ke beberapa pesantren semisal di Kediri, Demak, Kudus, Cirebon dan Banten.
3)
Sekolah Islam
Sejak awal abad ke-20 gagasan modernisasi Islam menemukan momentum.
Pendidikan direalisasikan dengan
pendirian lembaga-lembaga pendidikan modern. Gagasan tersebut menuntut adanya
modernisasi sistem pendidikan Islam. Perkembangan mencolok terjadi
pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah Islam elite
Muslim yang dikenal sebagai ”sekolah
Islam”. Sekolah-sekolah itu mulai menyatakan diri secara formal dan diakui oleh kalangan
Muslim sebagai “sekolah
unggulan” atau sekolah Islam unggulan. Sekolah Islam
unggulan tersebut seakan menjawab tuntutan modernisasi sistem pendidikan Islam.
Sekolah-sekolah tersebut dapat
dikatakan sebagai sekolah “elite” Islam dikarenakan beberapa hal yang mendasarinya. Menurut Sanaky
(2003), alasan yang melatarbelakangi sekolah-sekolah tersebut bersifat elite antara lain dari segi akademis.
Dalam beberapa kasus, hanya siswa-siswa
yang terbaik saja yang dapat diterima. Sedangkan
tenaga pengajar (guru) yang mengajarpun hanyalah mereka yang
dipersyaratkan memenuhi kualifikasi yang ditetapkan melalui seleksi yang
kompetitif. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh manajemen yang baik dengan
berbagai fasilitas yang memadai dan lengkap seperti perpustakaan, ruang
komputer, masjid dan sarana olah raga.[67]
Sedangkan menurut Alaydrus, sekolah Islam termasuk sekolah Islam
terpadu, memasukkan nilai-nilai Islam dari berbagai saluran. Baik saluran
formal dalam arti pembelajaran agama, dan semua mata pelajaran bernuansa
Islami, apakah itu IPA, Maatematika, Geografi dan sebagainya. Semua itu harus
dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual, nilai-nilai Ilahiyah.[68]
c.
Tantangan Lembaga Pendidikan Islam
Permasalahan pendidikan di
Indonesia secara umum, diidentifikasi ke dalam empat krisis pokok, yaitu
menyangkut masalah kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Berbagai
indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas,
antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara
negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan masalah besar,
mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal
pemecahannya. Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di
Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar
problematikanya.[69]
Pendidikan Islam juga dihadapkan
dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian
disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan,
ketidakberdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang di alami oleh sebagian
besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non-Islam.
Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung
selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan,
perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, di
anggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara
berangsur-angsur banyak di antara lembaga pendidikan Islam yang telah
menunjukkan kemajuan. Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada
posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan
pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Jadi sistem
pendidikan itu satu, yaitu memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki
banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah,
masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi,
institusi, universitas, dsb), dan hakikat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan
martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi khalifah.[70]
Pendidikan Islam menjadi satu
dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan
kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan”
hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk
orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan
yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena
pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat
berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak,
sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk
memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di
masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Hal ini merupakan suatu
kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, muncul tuntutan masyarakat sebagai pengguna pendidikan Islam
agar ada upaya penataan dan modernisasi
sistem dan proses pendidikan Islam agar menjadi pendidikan yang bermutu,
relevan, dan mampu menjawab perubahan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia.[71]
d. Pembaharuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya
Islam di Indonesia. Tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak individu
maupun kelompok antara muballigh dengan penduduk pribumi. Setelah komunitas
muslim terbentuk di suatu daerah, mereka membangun masjid sebagai tempat
peribadatan dan sentral pendidikan, disamping rumah para mubaligh. Setelah itu
muncul cikal-bakal lembaga pendidikan lainnya seerti surau dan pesantren. Di
tempat ini, umat Muslim Indonesia pertama kali mendapatkan pendidikan
keislaman.
Inti dari pendidikan Islam masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu
keagamaan yang dikonsentrasikan pada pengajaran kitab-kitab klasik. Kitab
klasik yang juga dikenal sebagai kitab kuning ini menjadi tolak ukur tinggi
rendahnya pemahaman keagamaan seseorang.[72]
Pada awal abad ke-20, mulai berembus ide-ide modernisasi pendidikan
Islam di Indonesia. Ide ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap sistem
pendidikan Islam yang ada pada saat itu, terutama aspek materi. Yaitu, adanya
keinginan untuk memasukkan materi pengetahuan umum ke dalam kurikulum
pendidikan Islam. Juga, dari aspek metode tidak lagi hanya menggunakan metode sorogan,
hafalan dan wetonan, tetapi adanya penggunaan metode-metode baru
yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dari segi sistem, mulai ada keinginan
yang sangat kuat untuk mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal.
Sedangkan aspek manajemen adalah penerapan manajemen pendidikan sekolah.[73]
Steenbrink menyebutkan ada beberapa factor pendorong bagi pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad kedua puluh, yaitu:
1)
Sejak
tahun 1900 telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunnah yang
dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
Tema sentralnya adalah menolak taklid. Dengan kembali ke al-Qur’an dan sunnah
mengakibatkan perubahan dalam berbagai macam-macam kebiasaan agama.
2)
Sikap
perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
3)
Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk
memeprkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
4)
Berasal dari pembaruan pendidikan Islam.
Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan
metode tradisional dalam mempelajari al-quran dan studi agama.[74]
Masuknya ide-ide pembaruan
pemikiran Islam ke Indonesia, sangat besar pengaruhnya bagi terealisasinya
pembaruan pendidikan.
Pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia ini dimulai dengan munculnya sekolah Adabiyah. Sekolah ini setara
dengan sekolah HIS yang di dalamnya agama dan al-qur’an diajarkan secara wajib.
Pada tahun 1915, sekolah ini menerima
subsidi dari pemerintah dan mengganti namanya menjadi Hollandsch Maleische
School Adabiyah.[75]
Menurut Mahmud Yunus, sekolah
Adabiyah ini adalah sekolah agama pertama yang menggunakan sistem klasikal.
Berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak
memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja. Dan juga madrasah
(sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia.
Adabiyah ini berperan sebagai madrasah (sekolah agama) sampai pada tahun 1914.
Pada tahun 1915 telah berubah menjadi HIS seperti yang telah dikemukakan di
atas.[76]
Modernisasi dalam sistem
pendidikan di madrasah, tercatat dimulai setelah tahun 1931. Modernisasi ini
maksudnya adalah dengan dimasukkannya sejumlah mata pelajaran umum. Inisiatif
memasukkan mata pelajaran umum di madrasah dipelopori oleh pelajar-pelajar yang
pulang dari Mesir. Di Mesir mereka menerima pelajaran umum. Madrasah yang
mula-mula memasukkan pengetahuan umum dalam rencana pelajarannya adalah:
1) Al-Jam’iyah
Islamiyah
di Sungayang Batusangkar. Didirikan oleh Mahmud Yunus pada tanggal 20 Maret
1931. Al-Jam’iyah Islamiyah ini mempunyai 3 tingkatan:
a. Ibtidaiyah. Lama belajar 4 tahun.
Pelajarannya:
-
Ilmu-ilmu agama
-
Bahasa Arab
-
Pengetahuan umum yang sama tingkatannya
dengan sekolah schakel.
b. Tsanawiyah. Lama pelajarannya 4
tahun. Pelajarannya:
-
Ilmu-ilmu agama
-
Bahasa Arab
-
Pengetahuan umum yang setingkat dengan Norma
School.
c. Aliyah. Lama belajarnya 4 tahun.
2) Normal Islam (kuliah Muallimin
Islamiyah), didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang
tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus.
3) Islamic College, didirikan oleh
Persatuan Muslim Indonesia (Permi) di Padang pada tanggal 1 Mei 1931, dipimpin
oleh Mr. Abdul Karim, kemudian digantikan oleh Mukhtar Yahya (1935).[77]
Dampak dari munculnya ide-ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan memunculkan lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang tidak lagi berorientasi pilah antara ilmu agama dan umum, tetapi
setidaknya walaupun belum seimbang, sudah memunculkan pemikiran untuk
menganggap penting kedua ilmu tersebut. Misalnya, di kalangan sekolah-sekolah
agama yang diwakili oleh madrasah, terutama madrasah yang muncul di Sumatera
Barat telah memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya. Selanjutnya di
kalangan sekolah-sekolah umum yang diasuh oleh organisasi-organisasi Islam
(HIS, MULO, AMS) memasukkan mata pelajaran agama. Fenomena inilah yang berlangsung
pada awal abad ke-20 dan ini menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan kedua
ilmu ini untuk seterusnya.[78]
2.
K.H. A. Wahid Hasyim dan Karya-Karyanya.
a.
Kelahiran K.H.
A. Wahid Hasyim
K.H. A. Wahid Hasyim lahir pada hari jum’at
legi 5 Rabi’ul Awal 1333 H, bertepatan pada 1 Juni 1914,[79] di desa Tebuireng Jombang
Jawa Timur. Ia lahir dari perkawinan seorang ulama terkemuka pendiri pondok pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur, yaitu K.H. Hasyim Asy’ary dengan putri kiai
Ilyas, pengasuh pondok pesantren Sewulan madiun yang bernama Nafiqoh.
Perkawinan K.H. Hasyim Asy’ari dengan
Nafiqoh dikaruniai sepuluh anak. Empat orang berjenis perempuan dan enam orang
berjenis laki-laki. K.H. A. Wahid Hasyim adalah anakkelima dari sepuluh bersaudara
yaitu: Hannah, Chairijah Hasyim, Aisjah Hasjim, Azzah Hasjim, Abdul Wahid
Hasyim, Abdul Hafidz Hasjim, Abdul Karim Hasjim, Ubaidillah Hasjim, Maruroh
Hasjim dan Muhammad Jusuf Hasjim.[80]
K.H.
A. Wahid Hasyim dilahirkan
dari keturunan raja Brawijaya VI (Lembu Peteng). Menurut silsilah, Raja
Brawijaya mempunyai putra bernama Joko Tingkir. Joko Tingkir adalah kakek ke-8
dari KH. Hasyim Asy’ari, ayah dari K.H. A. Wahid Hasyim.[81]
Ia adalah ayah dari pangeran Benawa dan anak dari pangeran ini bernama pangeran
Sambo. Pangeran Sambo beranak seorang laki-laki bernama Sichah. Sichah
menurunkan dua puteri yaitu Layyinah, dan Fatimah.[82]
Jadi, K.H. A. Wahid
Hasyim adalah keturunan Raja Brawijaya VI dari garis keturunan nenek dari
ayahnya (KH. Hasyim Asy'ari), yang bernama Layyinah.
Layyinah ini adalah isteri Kiai Usman,[83]
seorang kiai besar dan alim, yang mempunyai pondok pesantren di Nggendang,
Gombong. Pondok pesantren ini adalah salah satu pondok pesantren yang
termasyhur pada permulaan abad XIX di Jawa Timur.[84]
Dari perkawinan Layyinah dan kiai Usman diperoleh lima anak. Salah satunya
adalah yang bernama Halimah, yang kawin dengan salah seorang santri dari kiai Usman
sendiri, yang bernama Kiai Asy'ari. Kiai Asy'ari adalah salah seorang santrinya
yang berasal dari Demak, sebuah daerah yang terkenal dengan kemajuan agamanya
di Jawa Tengah pada masa itu.[85]
Kemudian dari perkawinan Kiai Asy'ari
dengan Halimah diperoleh beberapa anak. Seorang di antara anak-anak itu adalah
Muhammad Hasyim, yang kemudian menjadi kiai besar dan dikenal orang dengan nama
K.H. Hasyim Asy'ari. Kiai Hasyim Asy'ari, ini lahir pada hari Selasa kliwon,
tanggal 24 Dzulqa'dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M dalam pondok pesantren
Kiai Usman di Nggendang.[86] Dalam riwayat hidupnya, Kiai
Hasyim Asy'ari disebut tujuh kali beristeri, di antaranya yang dapat kita
ketahui jelas adalah dengan putri kiai Pandji, bernama Nafisah dan dengan
saudara kiai Ilyas, pemimpin Pesantren Kepurejo, Kediri, Masruroh.[87]
K.H.
A. Wahid Hasyim menikah
dengan Sholehah. Sholehah ini adalah anak dari K.H. Badri, seorang kiai besar,
pemimpin pesantren Denanyar.[88] Dari pernikahan K.H. A. Wahid
Hasyim dengan Sholehah menurunkan enam orang anak, yaitu: Abdurrahman, Aisyah,
Shalahudin al-Ayyubi, Umar, Khadijah, dan Hasyim.[89]
b.
Latar Belakang
Pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim
Ada suatu tradisi di kalangan para kiai
pemimpin pesantren, dalam mendidik anak-anaknya, mereka melakukan dengan cara mandiri,
yaitu mendidiknya di lingkungan pesantrennya dengan contoh teladan yang
diberikan oleh kiai itu sendiri. Demikian pula yang di alami K.H. A. Wahid
Hasyim. Ia mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Kiai Hasyim Asy'ari di
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
K.H.
A. Wahid Hasyim dikenal
memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Pada usia kanak-kanak ia sudah bisa
membaca al-Qur'an. Bahkan pada usia tujuh tahun sudah selesai belajar membaca
al-Qur’an. Selain mendapat pendidikan dari orang tuanya K.H. A. Wahid Hasyim juga belajar di
bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun ia
membantu mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya.[90] Ia mengajari adiknya,
A.Karim Hasyim kitab ‘Izi di malam hari. Pada masa itu pula, ia giat
mempelajari ilmu-ilmu kesusastraan Bahasa Arab. Cara belajarnya sebagian besar
dengan kekuatan muthala’ah dan membaca sendiri. Ia menunjukkan betapa kuatnya
ia membaca dan berpikir yang sejak kecil sudah tertanam dalam sanubarinya.[91]
Pada usia 13 tahun, ia dikirim ke pondok
Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Di pondok ini ia mempelajari
kitab-kitab Bidayah, Sullamut Taufiq, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Gurunya adalah kiai Hasyim sendiri dan kiai Qhosim yang berasal dari Panji. Akan tetapi,
ia belajar di Panji itu tidak lama, hanya 25
hari dalam bulan puasa.[92] Dari Siwalan,
ia pindah ke pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi, di pesantren ini ia hanya
mondok dalam waktu yang singkat, hanya beberapa hari saja.[93]
Sepulang dari Lirboyo, K.H. A. Wahid Hasyim
tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi malah tinggal di rumah.
Oleh ayahnya, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pilihan K.H. A. Wahid Hasyim untuk tinggal di
rumah dibiarkan saja, toh Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri bagaimana
harus belajar. Itu dibuktikan oleh beliau selama di rumah. Semangat belajarnya
tidak pernah padam, terutama belajar secara autodidak.[94]
Disamping itu K.H. A. Wahid Hasyim
mungkin mempunyai pemikiran sendiri yaitu soal ilmu dapat dipelajari kapan dan
dimanapun berada. Sedangkan untuk belajar langsung bertatap muka dengan seorang
guru waktunya adalah relatif singkat. Dalam pada itu Saifullah Ma’shum
menyimpulkan sebagai berikut: berpindah-pindahnya dari pesantren satu ke
pesantren yang lain barangkali K.H. A. Wahid Hasyim terkandung maksud yaitu
seolah-olah yang diperlukan oleh K.H. A. Wahid Hasyim adalah keberkahan dari
seorang guru, bukan ilmu itu sendiri.[95]
Pada usia 15 tahun K.H. A. Wahid
Hasyim sudah meguasai bahasa Arab, Inggris dan Belanda.[96] Seperti halnya yang
dikatakan oleh Barton, bahwasanya sang ibu, Nafiqah, sangat berperan atas
pengetahuan dan keahlian K.H. A. Wahid Hasyim terhadap bahasa
asing. Bahkan disebutkan dalam buku tersebut, sang ibu tidak berharap anaknya ini
tinggal di dunia pesantren di pedesaan.
Oleh karena itu, iapun meminta seorang
Eropa yang bekerja sebagai manajer di pabrik gula setempat untuk mengajar
putranya bahasa Inggris dan Belanda. Hal tersebut bisa dijadikan modal K.H. A. Wahid Hasyim untuk bisa masuk menjadi elite
perkotaan.[97]
Sementara itu pada1932, ketika usianya
menginjak 18 tahun, ia pergi ke Makkah. Kepergiannya disamping menunaikan rukun
Islam kelima, yaitu haji, juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama.
Kepergiannya ke Makkah ditemani oleh sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak
menjadi Menteri Agama.
Muhammad Ilyas memiliki jasa besar dalam
membimbing K.H. A. Wahid Hasyim sehingga tumbuh menjadi remaja yang
cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab. Ia yang mengajari K.H.
A. Wahid Hasyim bahasa ini.
Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.[98] Tidak di ketahui informasi
mengenai kegiatan K.H. A. Wahid Hasyim selama dua tahun
menimba ilmu di Makkah. Namun sebagaimana di ketahui, bahwa Makkah pada saat
itu sedang mengalami pembaharuan dan yang ketika itu sudah mulai melanda dunia
Islam mengilhami gagasannya, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya
maupun pendidikan. Pengaruh yang paling menonjol adalah pada pemikiran politik
dan pendidikannya.[99] Hal ini menjadikan beliau
berpikir secara luas, terbuka dan tidak fanatik dalam menghadapi suatu
persoalan. K.H. A. Wahid Hasyim juga meyakini jika ajaran Islam dapat
mencapai kemajuan dan persatuan, yang akan dapat membawa manusia kearah
perdamaian.[100]
Setelah kembali dari Makkah, K.H. A. Wahid
Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan di bidang sosial,
keagamaan, pendidikan dan politik. Ini sebenarnya adalah proses belajar yang
terus menerus dan ditingkatkan tingkatannya, yaitu belajar di lapangan, dalam
kenyataan. Begitu pula proses membaca, menulis, berpidato dan mendidikpun
ditingkatkan sambil berjalan dan menjalani kehidupan.[101]
c.
Karya-Karya K.H.
A. Wahid Hasyim
a) “Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia”. Karya ini merupakan
pidatonya pada pembukaan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw., yang di adakan di
Istana Negara Jakarta, pada 2 Januari 1950, dan merupakan perayaan Maulid
Pertama sesudah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia.
b) “Kebangkitan Dunia Islam”. Karya ini merupakan tulisannya di media
Mimbar Agama, edisi No. 3-4, Maret-April 1951.
c) “Islam adalah Agama Fitrah (Dasar Manusia)”. Dalam Suara Muslimin
Indonesia, No. 7, Th. Ke II, April, 1944, hlm. 2-4.
a) “Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang”. Dari Nota Politik (November,
1945).
b) “Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan kekuatan Politik
daripada Partai-Partai dan Golongan-Golongan”. Catatan (disiarkan pada
kalangan terbatas pada 1952).
c) “Menyongsong Tahun Proklamasi Kemerdekaan yang ke Delapan”, Jakarta, 14 Agustus 1952.
a) “Suluh”, dalam Berita Nahdkatul Uama, No. I, Th. I,
April 1941, hlm. 1-12.
b) “Masyumi Lima Tahun”, Kutipan dari Suara Partai
Masyumi, No. 11 Th. Ke-5, Desember 1950.
c) “Mengapa Saya Memilih NU?”, dalam Gema Muslimin, Th. Ke-1
November 1953.
a) “Fanatisme dan Fanatisme”, dalam Gempita No. 1 Th. Ke-1 (15
Maret 1955).
b) “Siapakah yang Akan Menang Dalam Pemilu yang Akan Datang”, dalam Gema Muslimin, Tahun
Ke-1, Maret 1953.
c) “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, Tetapi Pemimpin-Pemimpinnya Tidak
Tahu”. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan nama samara Makmum Bingung, pada
awal Desember 1951.
a) “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik”, dalam Suluh NU, Agustus 1941,
tahun ke-1 no. 5.
b) “Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa”, dalam Suara Anshor, Rajab,
1360 Th. IV No. 3 ditulis dengan nama Banu Asy’ari.
c) “Pendidikan Ketuhanan”, dalam Mimbar Agama, Tahun I No.
5-6, 17 November-17 Desember 1950.
I.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah yang diajukan, penelitian ini dapat diklasifikasikan pada penelitian
kualitatif. Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip oleh Moeloeng mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang di amati.[107]
Jenis
penelitian ini adalah penelitian sejarah
(historical research) dengan kualifikasi pada penelitian Biografis,
yaitu penelitian sejarah yang mengungkapkan tentang kehidupan seseorang atau
objek yang menonjol untuk diteliti menyangkut karakteristik, sifat, kehidupan
beragama, dan sebagainya. Sumber data yang digali biasanya dari dokumentasi
objek yang diteliti, bisa berisi
buku-buku harian , hasil karya, surat pribadi dan lainnya.[108]
Kegiatan studi ini termasuk kategori penelitian kualitatif dengan prosedur kegiatan dan tehnik penyajian finalnya
secara
analisis deskriptif.[109] Maksudnya, penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran utuh dan jelas tentang sosok K.H.
A. Wahid Hasyim, berikut pula tentang konsep
pemikirannya tentang pendidikan Islam.
Berhubung penelitian ini dikategorisasikan sebagai history
of ideas, atau intellectual history, maka pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu: kajian teks, kajian konteks sejarah, dan
kajian hubungan antara teks dengan masyarakatnya.[110]
Dalam kajian teks, maka tahapan penelitiannya meliputi:
(1) Genesis pemikiran, yaitu menelusuri keterpengaruhan pemikiran K.H. A. Wahid
Hasyim oleh faktor-faktor di luar dirinya; (2) Konsistensi pemikiran; (3)
Evolusi pemikiran; (4) Sistematika pemikiran; (5) Perkembangan dan perubahan;
(6) Varian pemikiran; (7) Komunikasi Pemikiran; (8) Internal dialektis.[111]
Selajutnya dalam kajian konteks, maka tahapan
penelitiannya meliputi: (1) Kajian konteks sejarah; (2) Kajian konteks politik;
(3) Kajian konteks budaya; (4) Kajian konteks sosial.[112]
Dalam kajian hubungan antara teks dengan masyarakat, maka
pembahasan dalam tahap ini meliputi: (1) pengaruh pemikiran tokoh terkait; (2)
Implementasi pemikiran tokoh terkait; (3) Disseminasi pemikran; serta (4)
Sosialisasi pemikran tokoh tersebut.[113]
J.
Sumber Data
Yang
dimaksud sumber data adalah subjek dimana data itu
diperoleh, dalam hal ini dibedakan menjadi dua; pertama sumber data primer, yaitu berupa karya-karya asli K.H. A. Wahid Hasyim sendiri. Sumber data sekunder yaitu
buku-buku lain yang masih
relevan dengan
pokok permasalahan yang
menjadi kaitan dalam penelitian
ini.
a.
Data
Primer
1)
Penulis : K.H. A. Wahid Hasyim
Tahun : Rajab, 1360 H
Judul : Kemajuan Bahasa Berarti
Kemajuan Bangsa
Penerbit :
Suara Anshor.[114]
2)
Penulis : K.H. A. Wahid Hasyim
Tahun : Syawal 1370 H/19 Juli 1951
Judul :
Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa
Pembangunan.
Penerbit :
----------[115]
3)
Penulis : K.H. A. Wahid Hasyim
Tahun : Syawal 1370 H/19 Juli 1951
Judul : Tuntutan Berpikir
Penerbit :
---------[116]
4)
Penulis : K.H. A. Wahid Hasyim
Tahun : 7 Desember 1950
Judul : Pendidikan Ketuhanan
Penerbit :
Mimbar Agama.[117]
5)
Penulis : K.H. A. Wahid Hasyim
Tahun : 21 Juni 1952
Judul : Perguruan Tinggi Islam
Penerbit : Pidato Menteri Agama menyambut berdirinya
Universitas
Sumatera Utara Medan.[118]
6)
Penulis : K.H. A. Wahid Hasyim
Tahun : 26 September 1951
Judul : Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri
Penerbit : Pidato dalam acara Pembukaan PTAIN
Yogyakarta.[119]
b.
Data
Sekunder
Adalah
mencakup kepustakaan yang berwujud buku-buku penunjang, jurnal dan karya-karya
ilmiah lainnya yang ditulis atau diterbitkan oleh studi selain bidang yang
dikaji yang membantu penulis berkaitan dengan pemikiran tokoh yang dikaji oleh
peneliti.
K.
Metode Pengumpulan Data
Sebelum peneliti menjelaskan
teknik pengumpulan data dari
penulisan ini, perlu di ketahui bahwa penulisan ini merupakan kajian kepustakaan (library Reaseach). Karena bersifat library reasearch maka
dalam pengumpulan data peneliti
menggunakan
tehnik dokumentasi, artinya data dikumpulkan dari dokumen-dokumen,
baik yang berbentuk buku,
jurnal, majalah, artikel, maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan tentang
K.H. A. Wahid Hasyim dengan judul yang
di angkat oleh
peneliti yaitu
tentang Konsep Pemikiran Pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim.
Dengan
demikian penulisan penelitian ini mengacu pada tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Heuristik,
yaitu mengumpulkan data sejarah yang bersangkutan dengan kajian yang diteliti.
Dalam hal ini penulis berusaha mengumpulkan data sejarah sebanyak mungkin yang
berkaitan dengan pokok persoalan melalui library research yang
kegiatannya dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur baik
dari perpustakaan maupun tempat lain yang memuat tentang K.H. A. Wahid Hasyim,
maupun yang berhubungan dengan penelitian ini.[120]
2.
Verifikasi,
yaitu mengadakan kritik terhadap data yang telah terkumpul baik secara intern
(kredibilitas) maupun ekstern (otentisitas),sehingga dapat diperoleh data yang
valid.
3.
Interpretasi,
yaitu menyimpulkan data yang telah terseleksi dengan cara analisis dan
sintesis.
4.
Historiografi,
yaitu penulisan sebagai tahap akhir prosedur penelitian sejarah dengan
memperhatikan aspek kronologis.[121]
L.
Metode Analisis Data
Analisis data merupakan tahap terpenting
dari sebuah penelitian.
Sebab pada
tahap ini dapat di
kerjakan dan di
manfaatkan sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat
digunakan untuk menjawab persoalaan-persoalaan yang telah dirumuskan. Analisis data merupakan proses pengorganisasian
dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh
data.[122]
Teknik analisis pada
tahap ini merupakan pengembangan dari
metode analisis kritis. Adapun tehnik analisis dari penulisan ini adalah content analysis
atau analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara
pemilahan tersendiri
berkaitan
dengan pembahasan dari
beberapa gagasan
atau pemikiran para tokoh pendidikan yang kemudian di
deskripsikan, di bahas, dan di kritik. Selanjutnya di kategorisasikan dengan data yang
sejenis, di analisis isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang
konkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah
dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan
masalah yang ada.[123] Dari itulah, peneliti akan mencari data yang relevan dengan fokus penelitian ini, yakni
untuk menjawab fokus masalah.
M.
Sistematika Pembahasan
Landasan teori adalah serangkaian
pembahasan yang tercakup dalam isi tesis, dimana yang satu dengan yang lain saling
berkaitan sebagai satu kesatuan yang utuh, yang merupakan urutan-urutan tiap
bab. Maka sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Dalam bab pertama akan dibahas tentang Konteks Penelitian, Fokus Penelitian, Tujuan
Penelitian, Manfaat/ Signifikansi Penelitian, Definisi Istilah, Penelitian
Terdahulu, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Selanjutnya bab kedua merupakan
kajian teori yang berisi tentang Biografi K.H. A. Wahid Hasyim, latar belakang
pendidikannya serta bentuk perjuangan K.H. A. Wahid Hasyim.
Bab ketiga merupakan pembahasan seputar
pendidikan Islam. Hal ini terkait dengan pengertian pendidikan Islam, fungsi dan
tujuan pendidikan Islam, tantangan serta diskursus seputar upaya pembaharuan
atau modernisasi pendidikan Islam Indoneesia.
Pada bab keempat akan dibahas tentang pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim tentang
pendidikan Islam.
Akhirnya, pada bab kelima akan dibicarakan mengenai
kesimpulan penelitian serta saran-saran yang relevan.
DAFTAR RUJUKAN
Ali,
A. Mukti. 1971. Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta:
Yayasan Nida.
Assegaf,
Abdur Rahman. 2007. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: SUKA
Press.
Atjeh, Aboe Bakar. 1957. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar. Jakarta:
Analisa Buku Peringatan Almarhum K.H. A. Wahid
Hasyim.
Bawani,
Imam. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam; Studi Tentang Daya Tahan
Pesantren Tradisional. Surabaya: Al-Ikhlas.
Bruinessen, Martin van. 1995.
Kitab Kuning, Pesantren
dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam
di Indonesia. Bandung: Mizan.
Daulay,
Haidar Putra. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Dhofier,
Zamakhsyari. 1990. Tradisi Pesantren, Studi tentang
Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Echols, John M. Hasan
Shadily. 1990.
Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Efendi,
Arif. 2008. Peran
Strategis Lembaga Pendidikan Berbasis Islam di Indonesia, el-Tarbawi, Jurnal
Pendidikan Islam, 1(1).
Fadeli,
Soeleiman. Subhan, Mohammad. 2007. Antologi NU;
Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah. Surabaya: Khalista.
Halim, A. 2010. Dinamika Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan
Lembaga Pendidikan (Studi Kasus Pesantren Tebuireng). Tesis
tidak diterbitkan. Surabaya: Thesis IAIN Sunan Ampel.
Haris,
M. Abdul. 2007. Pembaharuan Pesantren: Studi Pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim
tentang Pendidikan Pesantren. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga.
Hasbullah.
1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan LKIS.
Ihsan Hamdani. &
Fuad, 2007. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Kuntowijoyo.
2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
-----------------
1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bandung.
Langgulung, Hasan.
2000.
Asas-Asas Pendidikan
Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra.
Maksum.
1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos.
Marijan,
Kacung. 1992. Quo Vadis NU Setelah
Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Erlangga.
Ma'shum, Saifullah. (ed.). 1998. Karisma Ulama:
Kehidupan Ringkas 26 Tokoh
NU. Bandung: Yayasan Saifuddin Zuhri & Mizan.
Masruroh,
Ninik. Umiarso. 2011. Modernisasi Pendidikan Islam ala Azumardi Azra. Yogyakarta:
AR-RUZZ Media.
Mastuhu.
1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
------------
1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.
Moleong, Lexy J. 2002.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muhaimin.
2004. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengeefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya.
-------------
2011. Pemikiran dan Aktualisai Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers.
Mulkhan,
Abdul Munir. 1993. Paradiggma Intelektual Muslim; Pengantar filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.
Nadirin,
Ahmad. 2001. Kiprah Politik Wahid Hasyim (1938-1953). Skripsi tidak
diterbitkan. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Nasution,
Harun. 1992. Einsiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Nawawi.
2006. sejarah dan Perkembangan Pesantren, Ibda’, Jurnal Studi Islam
dan Budaya. 4 (1).
Noer,
Deliah. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Rifai,
Mohammad. 2009. Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. Yogyakarta:
GARASI.
Sanaky, Hujair A. H. 2008. Permasalahan
dan Penataan Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Yang Bermutu, el-Tarbawi,
Jurnal Pendidikan Islam, 1(1).
Sanusi,
Buntaran, dkk. 1985. K.H. A. Wahid Hasjim Mengapa Memilih NU?. Jakarta:
PT. Intisari Sarana Aksara.
Steenbrink,
Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Suprayogo,
Imam. Relevansi Pemikiran Pendidikan K.H Wahid Hasyim Kini dan Mendatang. (Online),
(www.imamsuprayogo.com/viewd_ artikel.php?pg=1076, diakses pada 27 Januari 2012).
Susanto.
2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Sutrisno.
2011. Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam; Membentuk Insan Kamil
yang Sukses dan Berkualitas. Yogyakarta: Fadilatama.
Tafsir, Ahmad. 1994.
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahid,
Fathul. 2008.
Pemberdayaan Pendidikan Islam Merespon Perkembangan Teknologi Informasi,
el-Tarbawi, Jurnal Pendidikan Islam.1 (1).
Wasito,
Hermawan. 1992. Pengantar Metodologi Penelitian Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta:
Gramedia.
Yasmadi.
2002. Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.
Zaini,
Ahmad. 1998.
Kiai Haji Abdul Wahed Hasyim: His Contribution To Muslim Educational Reform
And To Indonesian Nationalism During The Twentieth Century. Tesis tidak
diterbitkan. Canada: McGill University
.