HIDUP DALAM KEMULIAAN, DAN MATI SYAHID-DIJALANNYA
Home » » TINJAUAN KRITIS TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH): ANTARA TRADISI DAN TUNTUTAN PERUBAHAN

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH): ANTARA TRADISI DAN TUNTUTAN PERUBAHAN

Senin, 11 Agustus 2014 | 0 komentar

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH): ANTARA TRADISI DAN TUNTUTAN PERUBAHAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia kita kenal, berbagai bentuk dan jenis pendidikan Islam, seperti Pondok Pesantren, Madrasah, Sekolah Umum bercirikan Islam, Perguruan Tinggi Islam dan jenis-jenis pendidikan Islam luar sekolah, seperti Taman Pendidikan al-Qur’an [TPA], dan sebagainya. Kesemuanya itu, sesungguhnya merupakan aset dan salah satu dari konfigurasi sistem pendidikan nasional Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut, sebagai khazanah pendidikan dan diharapkan dapat membangun dan memberdayakan umat Islam di Indonesia secara optimal, tetapi pada kenyataan pendidikan Islam di Indonesia tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaiang dalam membangun umat yang besar ini.

Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren. Dengan karaktemya yang khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.[1]

Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren . Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir.[2]

Reformasi di Indonesia seakan menjadi cahaya impian yang akan memberikan banyak perubahan kehidupan bagi bangsa ini, khusunya pada sektor pendidikan. Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian, justru pendidikan di bumi Indonesia semakin menjadi problem baru, yakni lahirnya ambiguisitas dalam wilyah pendidikan yang terus berjalan di Indonesia. Kondisi ironis pendidikan tersebut adalah mengenai goal setting yang ingin dicapai system pendidikan. Gambaran riil adalah lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik sudah diposisikan pada orientasi pasar sehingga pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik. Selain itu, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang “persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan pemerintah yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat percaya diri memilih posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium lelang pendidikan[3].

Permasalahan pendidikan di Indonesia secara umum, adalah kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Berbagai indikator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya[4]. Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya.

Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan[5].

Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang- Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas, dsb, dan hakekat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi khalifah[6].

B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tinjauan kritis terhadap eksistensi, tradisi dan problematika Pendidikan Islam di Madrasah?

2. Bagaimanakah tuntutan perubahan terhadap Pendidikan Islam di Madrasah?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Eksistensi, Tradisi, dan problematika Pendidikan Islam di Madrasah

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909.[7] Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu:

1. Usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren,

2. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan

3. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya. Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in (1998), antara lain:[8]

1. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.

2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.

Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain:

1. Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.

2. Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.

Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.

Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya.

Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab.

Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag).

Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait.[9]

Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di Indonesia cukup variatif. Tetapi Steenbrink, mengkategori pendidikan tersebut dalam tiga jenis, yaitu pendidikan Islam yang berbasis pada pondok pesentrean, madrasah dan sekolah. Ketiga jenis pendidikan ini diharapkan menjadi “modal” dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma didaktik- metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral [interdisipliner] akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga pendidikan Islam selama ini berkembang.

Perkembangan yang mencolok pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah elite Muslim yang dikenal sbagai “sekolah Islam”. Sekolah- sekolah itu mulai menyatakan dirinya secara formal dan diakui oleh banyak kaum Muslim sebagai “sekolah unggulan” atau “sekolah Islam unggulan”. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah tersebut adalah “SMU Model” atau “Sekolah Menengah Umum [Islam] Model”. Dapat saja disebut, sekolah Islam al-Azhar yang berlokasi di komplek Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta, dengan beberapa cabang seperti Cirebon, Surabaya, Sukabumi, Serang, Semarang dan sebagainya. Sekolah al-Izhar2 di Pondok Labu, Jakarta, SMU Insan Cendekia3 di Serpong dan SMU Madinah di Parung. Selain itu, masih muncul pula madrasah elite lain yang juga menjadi madrasah favorit, sebagai contoh adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Malang, Jawa Timur. Sekokolah Dasar (SD) Muhammadiyah Sapen, Yogyakarta yang menjadi Sekolah Dasar bercirikan Islam yang menjadi faforit dan menjadi sekolah percontohan dan mungkin masih banykah sekolah- sekolah Islam dan Madrasah di daerah lain yang belum disebutkan dalam pembahasan ini.[10]

Dalam upaya mencari pola atau model alternatif pendidikan Islam di Indonesia, hendaknya pengembangan pendidikan Islam menitikberatkan atau berorientasi kepada visi dan misi, fleksibilitas, relevansi pendidikan di sekolah [formal] dan pendidikan di luar sekolah [non formal]. Artinya keluwesan sistem dan kerjasama antara bentuk lembaga pendidikan Islam itu, akan melahirkan model alternatif baru dewasa ini dan masa mendatang. Dalam upaya mencari “model alternatif pendidikan Islam” yang akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia, paling tidak ada tiga pendekatan yang ditawarkan sebagai pola alternatif pendidikan Islam, yaitu pendekatan sistemik, suplemen dan pendekatan komplementer. [1] Pendekatan sistemik, yaitu perubahan harus dilakukan terhadap keseluruhan sistem pada lembaga pendidikan Islam formal yang ada, dalam arti terjadi perubahan total. [2] Pendekatan suplementer, yaitu dengan menambah sejumlah paket pendidikan yang bertujuan memperluas pemahaman dan penghayatan ajaran Islam secara lebih memadai. Langkah ini yang sering dilakukan dengan istilah yang populer adalah “tambal sulam”. [3] Pendekatan komplementer, yaitu dengan upaya mengubah kurikulum dengan sedikit radikal untuk disesuaikan secara terpadu. Artinya, untuk kondisi sekarang ini, perubahan kurikulum pendidikan Islam harus diorientasikan pada kompetensi yaitu kompetensi knowledge [pengetahuan], skill [keterampilan atau kemahiran], kompetensi ability [memiliki kemampuan tertentu], komptensi sosial-kultural, dan kompetensi spritual ilahiyah.[11]

Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola madrasah memfokuskan pada program-program tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program yang ada.

Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan.

Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.

Akhirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan.

Akhir-akhir ini terlihat pendidikan Islam mulai mengalami kemajuan, hal ini terbukti dengan semakin bertambah jumlah [kuantitatif] dan kokohnya keberadaan lembaga pendidikan Islam, artinya masuknya pendidikan agama/madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasional, misalnya pada pendidikan tingkat madrasah sekarang ini, sejak ibtidaiyah sampai aliyah sudah mengikuti kurikulum nasional. Dengan demikian aliyah tidak lagi khusus mengaji atau mendalami masalah-masalah keagamaan sebagaimana dulunya. Namun sudah ada madrasah yang membuka jurusan IPA, sosial, keterampilan dan lain- lain, serta munculnya beberapa jenis serta model pendidikan yang ditawarkan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun pada kenyataannya tantangan yang dihadapi pendidikan Islam tetap saja kompleks dan berat, karena dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi globalisasi, sehingga mau tidak mau pendidikan Islam dituntut menyusun langkah-langkah perubahan yang mendasar, menuntut terjadinya diversifikasi dan diferensiasi keilmuan dan atau mencari pendidikan alternatif yang inovatif.[12]

Kondisi ini menuntut lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya, karena A.Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi [insinght], kelembagaan [oraganisasi], manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strtaegi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi- institusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya. . A. Syafii Maarif, menggambarkan situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar yang dikemukakan di atas. Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban.[13]

Mencermati kondisi tersebut di atas, penataan sistem dan model-model pendidikan Islam di Indonesia adalah sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Sistem pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak dan senteral yang akan menjadi model dasar untuk usaha pengembangan model-model pendidikan Islam selanjutnya, dengan tidak meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah dan madrasah, masjid, pondok pesantren, dan pendidikan luar sekolah lainnya tetap dipertahankan keberadaannya. Yahya Muhaimin [mantan Menteri pendidikan Nasional], juga “menawarkan sebuah mindmp tentang basis-basis pendidikan, yaitu pendidikan berbasis keluarga [family-based education], pendidikan berbasis komunitas [community-based education], pendidikan berbasis sekolah [school-based education], dan pendidikan berbasis tempat kerja [workplace- based education]”.[14]

Dari pandangan Yahya Muhaimin tersebut, apabila dicermati model-model pendidikan Islam sekarang ini sekurang-kurangnya berbasis pada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran dalam memberdayakan umat, yaitu pendidikan Islam berbais pondok pesantren, pendidikan Islam berbasis pada Mesjid, pendidikan Islam berbasis pada sekolah atau madrasah, dan pendidikan Islam berbasis pada pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Lembaga pendidikan yang berbasis pada pondok pesantren, sebagai model pendidikan Islam yang dapat mengembangkan atau memperluas sistem pendidikan nonformalnya pada pelayanan pendidikan yang meliputi berbagai jenis bidang misalnya, seperti pertanian, peternakan, kesehatan, kesenian, kepramukaan, iptek, dan pelbagain keterampilan, kemahiran dan sebagainya. Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materi-materi kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan masa depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya.

Adapun peran jenis pendidikan yang berbasis pada madrasah dan pendidikan umum yang bernafaskan Islam, adalah dalam upaya menemukan pembaruan dalam sistem pendidikan formal yang meliputi metode pengajaran baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, lingkungan yang mendidik, guru yang kreatif dan penuh dedikasi dan sebagainya sangat diperlukan.[15]

B. Tuntutan perubahan terhadap Pendidikan Islam di madrasah

Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.[16]

Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah', madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.

Model-model pondok pesantren modern seperti itu, kini telah bermunculan di berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada pondok pesantren "Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah menampung sekitar 1300 santri (siswa).

Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam.[17]

Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari sistem pendidikan nasional.

Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan "Madrasah", kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).[18]

Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.

Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Olah karena itu, muncul tuntutan masyarakat sebagai pengguna pendidikan Islam agar ada upaya penataan dan modernisasi sistem dan proses pendidikan Islam aga menjadi pendidikan yang bermutu, relevan, dan mampu menjawab perubahan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan demikian, penataan model, sistem dan proses pendidikan Islam di Indonesia merupakan suatu yang tidak terelakkan, untuk menjawab permintaan dari arus globalisasi yang tidak dapat dibendung lagi dan menjawab predikat keterbelakangan dan kemunduran yang selalu melekat pada pendidikan Islam.[19]

Hemat penulis, strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan menjadi modal dasar untuk usaha penataan dan pengembangan selanjutnya. Katakan saja, perubahan paradigama, visi, misi, tujuan, dana, dan sampai pada program-program pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam negeri ini, seperti: perubahan kurikulum pendidikan secara terarah dan kontinu agar dapat mengikuti perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.

Dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat global, ada beberapa persoalan mendasar internal pendidikan Islam yang harus diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas, yaitu :

Pertama, harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an, berupa persolan dikotomik pendidikan Islam yang merupakan persoalan mendasar dari perkembangan pendidikan Islam selama ini. Pendidikan Islam harus dijauhkan dari dikotomik, menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Integrasi tersebut dengan sekaligus menciptakan perangkat lunah yaitu kerangka filosofis yang jelas dan baku. Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dijauhkan dari buaian hellenisme yang diberi jubah Islam dan kita harus berada pada sumbu Islam, al-Qur’an, Hadis dan karir yang pernah diraih nabi Muhammad Saw. Maka kita tidak perlu berteriak, mari kita Islamkan ilmu modern”, yang hanya akan mengulangi hal serupa, yaitu pendidikan Barat yang dijustifikasikan dengan ayat-ayat Qur’an. Berkaitan dengan hal tersebut, yang pertama kali harus dimiliki adalah kemandirian dalam segala aspek. Dengan kemandirian tersebut, akan melindungi proses pengembangan pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang akan memperkosa proses pengembangan pendidikan Islam untuk tetap bersiteguh berdiri pada konsep yang murni dari al- Qur’an dan al-Hadis untuk memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim ini.[20]

Memang diakui, bahwa untuk mengikis habis persoalan dikotomik bukan hal yang mudah, karena akan berhadap dengan kontraversi pemikiran antar pemikiran kovensional [tradisional] dengan pemikiran kontemporer modern. Tetapi pada sisi lain, diakui bahwa secara malu-malu pendidikan Islam telah melakukan perubahan dengan mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Misalnya saja, kebijakan konvergensi yang diambil Departemen Agama [Depag] dengan memperkecil perbedaan antara pola pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya direspons pendidikan Islam secara malu-malu, istilah Azyumardi “malu-malu kucing” dan istilah Karel Steembrink, “menolak sambil mengikuti”. Artinya, pada akhirnya pendidikan Islam juga melakukan proses adaptasi dengan mengembangkan sistem mengikuti pendidikan umum. Maka kita harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an. Azyumardi, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan perubahan zaman. Menurutnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemoderenan, keknian, masa depan dan kemanusian agar compatible dengan perkembangan zaman.[21]

Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Artinya lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya berorientasi atau memenuhi keinginan kepentingan akhirat saja dengan mengajarkan keterampilan beribadah saja. Hal itupun, masih dirasakan apabila pendidikan Islam “dipandang dari dimensi ritual masih jauh dalam memberikan pengayaan spritual, etika dan moral” ilahiyah. Memang diakui, bahwa peserta didik secara verbal kognitif dapat memahami ajaran Islam dan terampil dalam melaksanakannya [psikomotorik], tetapi kurang menghayati [afektif] kedalaman maknanya. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus menjadikan pendidikannya tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama [spritual ilahiyah], ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan atau kemahiran, seni dan budaya serta etika dan moral ilahiyah.[22]

Selain persoalan tersebut, pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi, misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan, manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetetif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan informasi. Perubahan yang perlu dilakukan pendidikan Islam, yaitu: [1] Membangun sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusia [insaniyah], dan masyarakat, serta budaya. [2] Menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah [otonomi daerah] dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas. [3] Meningkatkan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat.

Dari uraian di atas, menegaskan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mendisain model-model pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan sekarang ini. Muncul pertanyaan model-model pendidikan Islam yang bagaimana? Yang diharapkan dapat menghadapi dan menjawan tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural menuju masyarakat Indonesia baru. Untuk menjawab pertanyaan ini, meminjam prinsip hakekat pendidikan Islam yang digunakan Hasim Amir, yang mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya kuat. Tawaran Hasim Amir ini, yang dikutip A. Malik Fadjar, dapat digunakan sebagai konsep pendidikan Islam dalam menghadapi perubahan masyarakat Indonesia, yaitu :[23]

Pertama, pendidikan integralistik, merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah [Ketuhanan], insaniyah [kemanusiaan] dan alamiyah [alam pada umumnya], sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial. Pendidikan integralistik diharapkan dapat menghasilkan manusia [peserta didik] yang memiliki integritas tinggi, yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak memiliki kepribadian belah atau kepribadian mendua, menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan, tetapi menjaga, memlihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersumber dari konsep Ketuhanan [Teosentris], artinya pendidikan Islam harus berkembang dan dikembangkan berdasarkan teologi tersebut. Konsep kemanusiaan, artinya dengan konsep ini dapat dikembangnya antropologi dan sosiologi pendidikan Islam, dan konsep alam dapat dikembangkannya konsep pendidikan kosmologi dan ketiga konsep ini harus dikembangkan seimbang dan integratif. Kedua, pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia [humanisasi], yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Maka manusia sebagai makhluk hidup, ia harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Maka posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya.

Pendidikan humanistik, diharapkan dapat mengembalikan peran dan fungsi manusia yaitu mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik- baik makhluk [khairu ummah]. Maka, manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk manusia berpikir, berasa dan berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dapat mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat menghormati dan dihormati, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, sifat menghargai hak-hak asasi manusia, sifat menghargai perbedaan dan sebagainya.

Ketiga, penddidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, keadilan, dan kebutuhan spritual ilahiyah. Dengan demikian, model pendidikan dengan pendekatan pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanausiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan siatuasi yang tidak manusiawi.

Keempat, pendidikan yang berakar pada budaya, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu masyarakat tertentu. Maka dengan model pendidikan yang berakar pada budaya, diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budaya sendiri yang akan menjadi warisan monumental dari nenek moyangnya dan bukan budaya bangsa lain (A. Malik Fadjar,1999:37-39).[24] Tetapi dalam hal ini bukan berarti kita menjadi orang yang anti kemodernan, perubahan, reformasi dan menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan alasan yang kuat. Selanjutnya, dari keempat model yang dikemukakan di atas, dapat ditarik lagi pada disain model pendidikan Islam yang lebih operasional, yaitu:

Pertama, mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Dengan demikian, visi, misi dan tujuan pendidikan, kurikulum dan materi pembelajaran, metode pembelajaran, manajmen pendidikan, organisasi dan sumber daya pendidikan [guru dan tenaga administrasi] harus disesukan dengan kebutuhan serta sesuai misi, visi dan tujuan pendidikan tersebut. Model pendidikan umum Islami, kurikulumnya bersifat integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, sehingga mampu mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secarakomprehensif. Atau meminjam istilah Fazlur Rahman, yaitu model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, untuk melahirkan intelektualisme muslim yang tangguh, walaupun Ahmad Syafii Maarif, menolah hal ini yaitu kita tidak perlu berteriak untuk mengislamkan ilmu modern.

Kedua, model pendidikan Islam yang tetap mengkhususkan pada disain “pendidikan keagamaan” seperti sekarang ini. Artinya, harus mendisain ulang model “pendidikan Islam” yang berkualitas dan bermutu, yaitu : [1] dengan merumuskan visi dan misi serta tujuan yang jelas, [2] kurikulum dan materi pembelajaran diorientasikan pada kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat untuk dapat menjawab tantangan perubahan, [3] metode pembelajaran diorientasikan pada upaya pemecahan kasus [promlem solving] dan bukan dominasi ceramah, [4] manajemen pendidikan diorientasi pada manajemen berbasis sekolah, [5] organisasi dan sumber daya guru yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Maka pendidikan Islam akan mampu bersaing dengan mampu mempersiapkan dan melahirkan mujtahid-mujtahid yang tangguh, berkualitas dan berkaliber dunia dalam bidangnya sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan kebutuhan perubahan zaman. Disain model pendidikan seperti ini, harus secara “selektif menerima” pendidikan produk barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia. Kata Fazlur Rahman, apabila kita ingin membangun pendidikan Islam yang berkualitas, harus kembali kepada al-Qur’an dan Qur’an harus ditempatkan sebagai pusat intelektualisme Islam.[25]

Ketiga, model pendidikan agama Islam tidak dilaksanakan di sekolah- sekolah formal tetapi dilaksanakan di luar sekolah. Artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga, mesjid dan lingkungan masyarakat [tempat-tempat pengajian dan Masjid] dalam bentuk kursur-kursus, kajian-kajian keagamaan, keterampilan beribadah dan sebagainya. Pendidikan agama akan menjadi tanggungjawab orang tua dan masyarakat atau meminjam konsep Yahya Muhaimin yang dikemukakan terdahulu bahwa pendidikan berbasis keluarga [family-based education] dan pendidikan berbasis pada masyarakat [community-based education]. Pendidikan Islam, dapat ditanamkan dan disosialisasikan secara intensif melalui basis-basis tersebut, sehingga pendidikan agama sudah menjadi kebutuhan [need] dan based dalam pribadi peserta didik. Maka dalam proses belajar mengajar di sekolah pendidikan agama telah menjadi kebutuhan dan prilaku [afektif dan psikomotorik] yang aktual, bukan lagi berupa pengetahuan [knwoledge] yang dihafal [kognitif] dan diujikan secara kognitif pula.

Keempat, disain model pendidikan diarahkan pada dua dimensi, yakni: [1] dimensi dialektika [horisontal], pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan [2] dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan Maha Pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati, artinya pendidikan harus membangun hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan lingkungan.[26]

Keempat model pendidikan Islam yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain dan model pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki masyarakat madani Indonesia. Kecenderungan perkembangan semacam, dalam upaya mengantisipasi perubahan zaman dan merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan, sehingga pendidikan tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern, post masyarakat modern dan masyarakat global.

Dengan demikian, apapun model pendidikan Islam yang ditawarkan dalam masyarakat Indonesia, pada dasarnya harus berfungsi untuk memberikan kaitan antara peserta didik dengan nilai-nilai ilahiyah, pengetahuan dan keterampilan, nilai-nilai demokrasi, masyarakat dan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, sebab pada saat yang sama pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan Islam dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya. Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.

Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain, madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan.

Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam.

Dari uraian di atas, menegaskan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mendisain model-model pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan sekarang ini. Muncul pertanyaan model-model pendidikan Islam yang bagaimana? Yang diharapkan dapat menghadapi dan menjawan tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural menuju masyarakat Indonesia baru. Untuk menjawab pertanyaan ini, meminjam prinsip hakekat pendidikan Islam yang digunakan Hasim Amir, yang mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya kuat.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang.

Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.

Azra, Azyumardi.,1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju

Melenium Baru, Logo Macana Ilmu, Jakarta.



Arikunto, Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII, Makalah, Disampaikan dalam Workshop Kurikulum Ekonomi Islam dan Pendidikan Islam Program Pascasarjana [S-2] Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Senin, 16 Juni 2008.

Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Darmuin (1998). Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah. Dalam Chabib Thoha dan Abdul Muth'i. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang.

Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.

Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.

Rahman, Fazlur., 1985, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual,

Terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka.

Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada.

Maarif, A.Syafii., 1996, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah, di Pondok Gede, Jakarta.

Muhaimin, Yahya [Menteri Pendidikan Nasional], 2000, “Reformasi Pendidikan Nasional Munuju Indonesia”, Majalah Dwiwutan BPK Penabur Jakarta, Midyawarta, No. 69/Thn.XII, From: http://www.bpk. Penabur. or.id/ KPS. Jkt/ widya/69/69.pdt.

Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.

Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsep Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta

Thoha, Chabib, dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang.

Share this article :
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
 
Support : Creating Website Copyright © 2011. DAAR AL-ARQOM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger