HIDUP DALAM KEMULIAAN, DAN MATI SYAHID-DIJALANNYA
Home » » Makna CINTA yang sebenarnya..

Makna CINTA yang sebenarnya..

Senin, 11 Agustus 2014 | 0 komentar

Cinta adalah sesuatu yang menarik jika dibahas, terlebih bagi kalangan muda yang baru mengalami masa puber. Tapi kebanyakan bagi para pemuda itu tidak mengerti tentang cinta itu sendiri, dan cenderung tidak bisa adil dalam menempatkan cinta. Ada satu lirik dari group band muda asal Indonesia yang membuktikan itu, yaitu ada lirik “tak bisa hatiku mengartikan cinta, karena cinta tersirat bukan tersurat”. Nah itu dia buktinya. Coba kita rujuk dari berbagai sumber yang ada tentang arti cinta itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Cinta merupakan wakil dari perasaan kasih, sayang, atau rindu yang sangat dalam.
Cinta itu laksana pohon di dalam hati. Akarnya adalah ketundukan kepada kekasih yang dicintai, dahannya adalah mengetahuinya, rantingnya adalah ketakutan kepadanya, daun-daunnya adalah malu kepadanya, buahnnya adalah ketaatan kepadanya dan air yang menghidupinya adalah menyebut namanya. (dari buku Cinta dan Rindu oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
KH Abdullah Gymnastiar pernah mengatakan “hati kita sering terbeli oleh orang yang berbuat baik kepada kita, timbullah cinta, cinta yang membuat kita ringan berbuat bahkan berkorban. Kita cinta kepada orang tua yang telah memberikan banyak kepada kita, kita pun cinta kepada siapa saja yang membuat kita mendapatkan nikmat kebaikan. Tapi semua sumber kebaikan hanyalah dari Allah sedangkan makhluk hanyalah jalan nikmat yang Ia berikan kepada kita, oleh karena itu jikalau kita akan menumpahkan cinta maka cinta sejati kita adalah cinta kepada Sumber Kebaiakan, sumber segala kenikmatan dan kebahagiaan yang kepada kita. Dialah Allah Maha Pencinta, Dialah Allah yang layak kita cintai dengan sepenuh hati.”
Kisah Asy-Syubali ra
Pernah suatu ketika ada serombongan orang mengunjungi Asy-Syubali ra. Dia berkata, “Siapa kalian semua!”
“Kami adalah orang-orang yang mencintaimu”|
Asy-Syubali menghadap mereka dengan membawa batu dan melempari mereka, merekapun lari.
Asy-Syubali berkata, “Mengapa kamu lari dariku! Andai kamu betul-betul mencintai aku, pasti tidak lari dari percobaanku.”
Asy-Syubali melanjutkan fatwanya, “Orang-orang yang punya rasa cinta terhadap Allah akan mereguk minuman dari gelas cintanya, dan bagi mereka negeri dan bumi amat sempit. Mereka minum dan tenggelam dalam tautan rindu kepada-Nya, dan mereka merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Nya.”
Kemudian dia melantunkan sya’ir:
“Ingat yang dicintai wahai tuanku, akan membuat: dan apakah engkau pernah melihat orang bercinta tanpa dirasuki mabuk kepayang” (dari buku Rahasia Ketajaman Mata Hati oleh Imam Ghazali).
Imam Nawawi mengatakan, ”Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat diindera, seperti bentuk, atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya

Menurut sumber diatas maka definisi cinta mampu disimpulkan, yaitu “Suatu perasaan yang cenderung tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun bisa ditunjukkan dengan suatu pengorbanan. ”

Ketika membahas cinta dalam Islam, maka perlu diketahui tiga tahapan cinta berdasarkan tingkat kecintaan yang seharusnya

1. Cinta kepada Allah dan Rasulnya.

Allah Ta’ala sudah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran : 31

Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengaisihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebab-sebab turunya ayat diatas ketika Rasulullah saw mengajak Ka’ab bin Asyrof dan kawan-kawannya masuk Islam. Mereka menjawab, “kami adalah putra-putra Allah, dan sungguh kami sangat mencintai Allah”

Di dalam ayat ini jelas tersurat bahwa jika seseorang mengaku cinta pada Allah maka haruslah ia mengikuti Rasul, menegakkan sunnah-sunnah beliau dan metaatinya. Maka barang siapa yang cinta pada Allah haruslah cinta pada Rasulullah, begitupun sebaliknya.

” Tidaklah seorang hamba beriman sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia.”(HR. Muslim)

Dan kencintaan inilah yang memiliki tingkatan yang paling tinggi melebihi tingkatan-tingkatan cinta yang lain.

2. Cinta pada sesuatu karena cintanya pada Allah dan Rasulnya.

Dari Anas ra dari Nabi saw bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”(Shahih Bukhari)

Dalam hadits ini mampu disimpulkan bahwa mencintai sesama muslim itu diperbolehkan, dan mencintai muslim itu sebagai sarana untuk menunjukkan rasa tunduk kepada apa yang disampaikan Allah dan Rasulullah.

Dalam hal lain, Allah berfirman:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, (terutama kepada ibunya), karena ibunyalah yang mengandungnya dengan berbagai susah payah, dan menyapihnya dalam (umur) dua tahun. Oleh karena itu hendaklah kamu bersyukur kepada Ku (hai manusia) dan juga kepada Kedua orang tuamu.” ( QS. Luqman 14 )

Dalam hal mencintai orang tua, itupun masuk dalam tingkat kecintaan yang nomor dua dan itu bukanlah suatu yang dilarang dalam Islam. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Abdulrahman, Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: Aku pernah bertanya pada Rasulullah, tentang prbuatan apakah yang paling dicintai Allah? Jawab beliau : “yaitu shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Jawab beliau: “berbuat baik kepada orang tua”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: “Jihat fisabilillah”. ( HR. Bukhori dan Muslim)

Hal inipun sebagai penguat bahwa mencintai selain Allah dan Rasulullah itu diperbolehkan selama itu sebagi sarana untuk mencintai Allah, dan suatu bentuk ketaatan pada-Nya.

3. Cinta terhadap sesuatu menyamai atau bahkan melebihi cintanya pada Allah dan Rasul-Nya.

Tingkatan cinta yang terakhir inilah yang tidak diperbolehkan dalam Islam, karena hal ini merupakan suatu bentuk syirik dalam cinta.

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 165

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah: mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta pada Allah”

Maka bisa disimpulkan bahwa kecintaan terhadap sesuatu itu tidak boleh melebihi kecintaannya pada Allah, jangankan melebihi bahkan menyamainya saja tidak boleh.

Karena cinta yang berlebih akan menimbulkan suatu kerinduan yang mendalam yang akan mengakibatkan individu yang bersangkutan akan mengalami gila cinta yang mana berakibat mabuk cinta yang mengakibatkan, merasa yang dicintainya adalah segala-galanya, yang mana hal ini sangatlah tidak tepat kecuali hanya diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[]
Share this article :
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
 
Support : Creating Website Copyright © 2011. DAAR AL-ARQOM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger