HIDUP DALAM KEMULIAAN, DAN MATI SYAHID-DIJALANNYA
Home » » PUASA RAJAB, Adakah Dalilnya ???

PUASA RAJAB, Adakah Dalilnya ???

Kamis, 01 Mei 2014 | 0 komentar

Bulan Rajab (jawa: wulan Rejeb) adalah salah satu bulan di antara dua belas bulan pada tahun Hijriyyah. Masyarakat umum mengenal dan menyebut tahun Hijriyyah sebagai tahun Islam. Mereka biasanya mengisi bulan Rajab dengan ibadah-ibadah mahdhoh untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, misalnya dengan melaksanakan puasa Rajab. Namun sebagai kaum muslimin yang senantiasa menginginkan keridhaan Allah, penting bagi kita untuk memperhatikan lagi seluruh aktivitas kita. Apakah aktivitas-aktivitas kita itu sejalan dengan perintah Rasulullah ataukah beliau melarangnya? Apakah puasa Rajab yang dilakukan itu sejalan dengan perintah Rasulullah ataukah beliau melarangnya?

Mengenali Bulan Rajab

Bulan Rajab juga dikenal dengan nama اْلأَصَمُّ Al Ashomm artinya yang tuli. Makna ini dimaksudkan karena bulan Rajab itu adalah bulan dimana orang-orang tidak mendengar lagi dentingan senjata. Sebab masyarakat sejak zaman jahiliyyah dahulu memaknai bulan Rajab sebagai bulan yang agung, bulan yang tidak boleh terjadi peperangan. Karena itu betapapun heroiknya suasana yang terjadi pada saat itu, mereka akan berhenti berperang jika telah memasuki bulan Rajab.

Nama lain yang popular adalah اْلأَصَبُّ Al Ashobb artinya mencurahkan atau menuangkan. Maksudnya Allah mencurahkan rahmat dan karunianya yang melimpah di bulan ini.

Nama lainnya yang juga popular adalah مُنْصِلُ اْلأَسِنَّةِ Munshilul Asinnah artinya yang mengeluarkan mata tombak (dari batang tombaknya). Hal ini dimaksudkan sebagai pertanda berhentinya perang sebagaimana pengertian Al Ashomm di atas.

Selain tiga nama ini, ada 15 nama lain lagi untuk bulan Rajab. Namun tiga nama di atas lebih populer dibanding nama yang lain. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam sebuah kitab kecil beliau berjudul:

تَبْيِيْنُ الْعَجَبِ بِمَا وَرَدَ فِيْ شَهْرِ رَجَبَ

Penjelasan ketertakjuban mengenai nash yang datang tentang bulan Rajab

Kitab kecil beliau ini menghimpun seluruh Hadist yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab.

Jika kita berbicara peristiwa sejarah, maka ada beberapa peristiwa sejarah yang penting yang terjadi pada bulan Rajab. Diantaranya adalah peristiwa isra’ dan mi’raj nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut jumhur ulama’, isra’ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab (meskipun ada pula pendapat yang mengingkarinya, seperti Ibnu Rajab Al Hanbali) .

Peristiwa lainnya yang terjadi di bulan Rajab adalah peristiwa perang Tabuk, yakni perang melawan Romawi yang dimenangkan oleh kaum muslimin tanpa peperangan. Waktu itu kaum muslimin berhasil membuat gentar musuh sebelum terjadinya peperangan. Hal ini terjadi karena setelah Rasulullah mendengar kabar bahwa kaum kafir Romawi akan menyerang kaum muslimin akibat aib yang mereka alami sebelumnya (yakni saat perang Mu’tah), maka beliau menyiapkan pasukan dan akan berbalik menyerang. Dengan kata lain beliau dan kaum muslimin akan menghadapi pasukan musuh secara ofensif (menyerang) bukan dengan defensif (pertahanan). Padahal jumlah kaum muslimin saat itu lebih sedikit dari pasukan musuh (jumlah kaum muslimin sekitar 3000 prajurit sementara Romawi sekitar 100 ribu atau 200 ribu prajurit). Karena itu pasukan musuh pun tidak berani menyerang, mereka terheran-heran dengan keberanian kaum muslimin sehingga mereka gentar menghadapi kaum muslimin. Inilah yang menyebabkan kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan. Karena peristiwa itu, tahun tersebut dikenal dengan sebutan Sanatul Wufud (Tahun Delegasi) karena pada tahun tersebut banyak kaum yang berdatangan menemui Rasulullah untuk menyatakan keislaman mereka. Sehingga Islam meluas seketika dan dikenal di berbagai penjuru negeri.

Di bulan Rajab pula terjadi pembebasan Salahuddin Al Ayyubi dari tangan kaum salibis.

Pada bulan Rajab pula runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah di Turki, yang terjadi tepat pada tanggal 28 Rajab.

Sungguh peristiwa-peristiwa besar di atas adalah sejarah besar kaum muslimin. Namun hal tersebut tidak seyogyanya menjadikan kita mengagungkan bulan Rajab dengan melaksanakan puasa khusus Rajab. Sebaliknya, puasa khusus Rajab harus didasarkan pada nash yang shohih.

Puasa Rajab di Masyarakat

Masyarakat umum yang melakukan puasa Rajab mendasari aktivitas mereka itu diantaranya berdasarkan riwayat berikut:

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام من رجب أغلق الله سبعة أبواب من النار، ومن صام ثمانية أيام من رجب فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة، ومن صام نصف رجب كتب الله له رضوانه، ومن كتب له رضوانه لم يعذبه، ومن صام رجب كله حاسبه الله حسابا يسيرا ".

Dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan baginya pahala puasa selama sebulan penuh. Barang siapa berpuasa tujuh hari di bulan Rajab , maka Allah akan menutup tujuh pintu neraka. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab , maka Allah akan membuka delapan pintu surga untuknya. Barang siapa berpuasa separuh bulan di bulan Rajab , maka Allah akan menuliskan keridhaanNya untuknya. Barang siapa yang Allah menuliskan keridhaanNya untuknya, maka Allah tidak akan menyiksanya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab sebulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan”.

Riwayat di atas secara jahr (jelas/terang-terangan tanpa kesamaran) memperlihatkan kepada kita betapa besarnya ganjaran orang yang berpuasa Rajab. Orang yang berpuasa Rajab tiga hari akan diganjar pahala yang setara dengan pahala puasa sebulan penuh. Orang yang berpuas Rajab selama tujuh hari maka tujuh pintu neraka akan ditutup, jika ia melebihkan puasanya menjadi delapan hari maka Allah akan membukakan delapan pintu surga untuknya. Sungguh ini adalah nikmat yang luar biasa. Selanjutnya jika seseorang berpuasa Rajab separuh bulan atau lima belas hari, maka hal itu akan membuat Allah ridha kepadanya, sedangkan ridha Allah itu membuat seseorang terhalang dari siksaNya. Dengan kata lain, orang yang berpuasa Rajab separuh bulan tidak akan disiksa oleh Allah. Lebih-lebih orang yang berpuasa Rajab satu bulan penuh, maka niscaya hisabnya akan dimudahkan oleh Allah di akhirat kelak. Yakni kesalahan-kesalahannya selama di dunia hanya akan diperlihatkan, ia tidak akan ditanya tentang hal tersebut. Setelah itu ia akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah.

Sekilas ganjaran tersebut di atas sangat menakjubkan bagi kita. Namun sayang sekali Hadist tersebut di atas tidak bisa dan tidak boleh dijadikan dalil untuk keabsahan puasa Rajab, sebab status Hadist tersebut adalah Dhoif (lemah), tidak shohih. Pada Hadist tersebut terdapat perawi yang bernama Aban bin Abi 'Ayyasy, dia adalah seorang perawi yang Dhoif .

Syu’bah berkata tentang Dhoif nya Aban dengan perkataannya:

"aku lebih menyukai berzina daripada mengambil Hadist dari Aban”

Sungguh perkataan Syu’bah ini memberi pemahaman kepada kita betapa buruknya perawi bernama Aban, ini menunjukkan Aban bukan orang yang dipercaya meriwatkan Hadist. Dengan kata lain, menerima riwayat dari Aban beresiko mengiyakan suatu perkataan yang tidak diucapkan oleh Rasulullah. Ini bermakna seseorang berdusta atas nama Rasulullah. Sedangkan orang yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah dan meyakini kehalalannya itu dihukumi kafir. Adapun orang berzina, ia hanya melakukan dosa besar, dosa zinanya tidak sampai merusak keimanannya. Karena itu Syu’bah berkata bahwa zina itu lebih baik dari mengambil Hadist dari Aban. Selain itu, Ahmad, An Nasa’i dan Ad Daruqutni berpendapat bahwa Aban itu matruk (ditinggalkan). Jika seseorang telah disifati matruk, maka secara tidak langsung ia telah tertuduh berdusta atas nama Rasulullah. Na’udzubillah.

Dengan adanya Aban, maka cukup menjadikan Hadist ini tidak dapat diterima sebagai dalil. Namun selain Aban, ada pula perawi bernama 'Amr bin Al Azhar dalam Hadist tersebut. Ia adalah perawi yang dikenal sering memalsukan Hadist. An Nasai berkata bahwa Amr bin Al Azhar adalah matruk (ditinggalkan). Yahya ibnu Ma'in juga mendustakannya. Dengan demikian, ada dua sebab Hadist tersebut tidak boleh dijadikan dalil yaitu: perawi bermaslah bernama Aban bin Abi 'Ayyasy, dan perawi bermasalah bernama Amr bin Al-Azhar. Karena itu mendasari puasa Rajab pada Hadist di atas adalah aktivitas yang tidak benar.

Selain Hadist tersebut, banyak pula Hadist serupa yang menjelaskan tentang disyariatkannya puasa Rajab. Misalnya Hadist berikut ini.

وعن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يتم صوم شهر بعد رمضان إلا رجب وشعبان. (مجمع الزوائد) رواه الطبراني في الاوسط وفيه يوسف بن عطية الصفار وهو ضعيف

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa selama sebulan penuh setelah Ramadhan kecuali puasa Rajab dan Sya’ban. Diriwayatkan oleh At Thobaroni dalam Al Mu'jamul Ausath dan di dalamnya terdapat Yusuf bin 'Athiyyah As Shoffar dan dia Dhoif (Majma'uz Zawa-id)

Namun Hadist tersebut bermasalah pada salah seorang perawinya yang bernama Yusuf bin ’Athiyyah As Shoffar. Ia dihukumi Dhoif sebagaimana pernyataan Al-Haitsami dalam kitabnya Majma'us Zawa-id sehingga tidak boleh mengambil Hadist darinya.

Selain dua Hadist ini, banyak pula Hadist yang serupa. Tetapi dari sekian Hadist yang ada, tidak ada satupun di antara Hadist itu yang bisa dijadikan dalil, sebab semuanya terkategori Hadist yang tidak shohih, bahkan sampai derajat Hasanpun tidak. Ibnu Hajar mengumpulkan seluruh Hadist yang terkait dengan keutamaan bulan Rajab secara khusus dalam kitab kecil beliau yang berjudul:

تَبْيِيْنُ الْعَجَبِ بِمَا وَرَدَ فِيْ شَهْرِ رَجَبَ

Penjelasan ketertakjuban mengenai nash yang datang tentang bulan Rajab

Pada kitab beliau itu, beliau membagi Hadist-Hadist tentang keutamaan Rajab menjadi dua kategori, yakni Hadist Dhoif dan Hadist maudhu’ (palsu). Jadi tidak ada satupun yang berderajat hasan, apalagi yang berderajat shohih. Sedangkan Hadist Dhoif maupun Hadist maudhu’ tidak boleh dijadikan dalil untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu tidak ada satu dalil shohih pun yang menjelaskan syariat puasa Rajab.

Berargumen bahwa Hadist Dhoif bisa diamalkan jika berkaitan dengan fadhoilul ‘amal (keutamaan dalam beramal) juga tidak bisa diterima untuk membenarkan puasa Rajab. Argumen ini tidak bisa diterima untuk menerima Hadist di atas serta Hadist serupa lainnya. Sebab Hadist-Hadist yang berkaitan dengan puasa Rajab ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Fadhailul ‘Amal, namun berkaitan dengan hukum tentang melaksanakan puasa Rajab. Sedangkan penetapan hukum suatu perbuatan apakah wajib, sunnah, makruh, mubah atau haram itu tidak boleh didasari dengan Hadist Dhoif.

Hadist Dhoif hanya boleh diamalkan jika berkaitan dengan fadhoilul ‘amal (keutamaan dalam beramal) yang berfungsi mendorong Mukallaf untuk lebih bersemangat dalam beramal. Itupun jika memenuhi beberapa ketentuan berikut:

Pertama; ada nash Ashl/induk yang tidak diperdebatkan lagi keshohihannya tentang amal yang dijelaskan dalam Hadist Dhoif.

Kedua; Hadist Dhoif tersebut bukan Hadist yang terlalu Dhoif.

Ketiga; dalam mengamalkannya tidak boleh disertai keyakinan bahwa Rasulullah SAW mengucapkannya.

Salah satu contohnya seperti Birrul Walidain (berbakti pada orang tua). Jika ada Hadist Dhoif yang menjelaskan keutamaan berbakti kepada orang tua, maka Hadist tersebut boleh diamalkan dalam rangka mengamalkan Hadist tentang Fadhailul ‘Amal. Sebab Hadist Dhoif tersebut hanya menguatkan dalil qath’i tentang kewajiban berbakti kepada orang tua. Karena kewajiban Birrul Walidain telah dijelaskan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an yang mutawatir sebagai dalil induknya. Sedangkan Hadist Dhoif tentang puasa Rajab, disamping tidak berkaitan dengan fadhoilul ’amal juga tidak punya nash ashl yang menjelaskan status hukumnya. Kesimpulannya, semua Hadist Dhoif yang menjelaskan tentang puasa Rajab tidak bisa diterima karena pembahasan sunnahnya puasa Rajab adalah pembahasan hukum bukan pembahasan Fadhoil 'Amal.

Di samping kedhoifan Hadist tentang puasa Rajab di atas, pada riwayat lain juga dijelaskan bahwa Rasulullah sendiri malah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap puasa Rajab secara khusus, sebagaimana dalil berikut.

عن زيد بن أسلم قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم رجب فقال : " أين أنتم من شعبان ".( مصنف ابن أبي شيبة)

Dari Zaid bin Aslam dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang puasa Rajab. Maka beliau menjawab, “di mana kalian dari bulan Sya’ban?”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah)

Zaid bin Aslam, perawi hadist tersebut adalah seorang Tabi’in besar, ia adalah murid mufassir terkenal dari kalangan shahabat yakni Ubai bin Ka’ab. Pada Hadist di atas, ia langsung menyandarkannya pada Rasulullah tanpa menyebut perawinya di kalangan shahabat. Karena itu Hadist di atas tergolong Hadist Mursal (Hadist yang disandarkan oleh Tabi’in langsung kepada Rasulullah dengan menghilangkan perawai Shahabat). Namun hal ini tidak menjadikan Hadist di atas tertolak atau tidak diterima, sebab Zaid bin Aslam adalah ulama’ dari kalangan Tabi’in yang kredibel. Ia adalah ulama’ besar yang terkenal. Karena itu Hadist Mursal bisa diterima jika diriwayatkan oleh Tabi’in besar semisal Zaid bin Aslam. Adapun tidak disebutkannya perawi dari kalangan shahabat bukan merupakan suatu masalah, karena seluruh shahabat dihukumi adil. Karena itu Hadist di atas diterima riwayatnya dan sah digunakan sebagai dalil.

Hadist tersebut di atas menjelaskan tentang jawaban Rasulullah terhadap pertanyaan shahabatnya tentang puasa Rajab. Maka Rasulullah menjawab, “dimana kalian dari bulan Sya’ban?”. Jawaban beliau ini malah menekankan kepada umatnya untuk melaksanakan puasa di bulan Sya’ban, seolah-olah beliau menyatakan tidak ada puasa Rajab. Jika kalian ingin berpuasa sunnah, maka berpuasalah di bulan Sya’ban. Seolah-olah demikian. Lebih dari itu, jika puasa Rajab merupakan amalan sunnah, seharusnya Rasulullah menjelaskan syariat ini kepada ummatnya. Apalagi mereka telah meminta penjelasan dari beliau. Namun ternyata Rasulullah tidak melakukan hal itu. Sampai disini keyakinan kita telah mantap bahwa puasa Rajab itu tidak disyariatkan karena tidak ada dalil shohih dari Rasulullah yang menjelaskannya.

Begitupula pandangan para shahabat tentang puasa Rajab sebagaimana pandangan Rasulullah, mereka menunjukkan ketidaksukaannya terhadap puasa Rajab secara khusus. Misalnya ketidaksukaan Abu Bakar berdasarkan riwayat berikut.

وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَرَأَى أَهْلَهُ قَدْ اشْتَرَوْا كِيزَانًا لِلْمَاءِ وَاسْتَعَدُّوا لِلصَّوْمِ فَقَالَ : " مَا هَذَا فَقَالُوا : رَجَبٌ فَقَالَ : أَتُرِيدُونَ أَنْ تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ ؟ وَكَسَرَ تِلْكَ الْكِيزَانَ" ( مجموع فتاوى ابن تيمية)

Abu Bakar masuk, dia melihat keluarganya telah membeli gelas-gelas untuk air dan mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Maka dia berkata, “apa ini?!”. Mereka menjawab, “Rajab ”. Dia berkata, “apakah kalian menginginkan untuk menyamakan Rajab dengan Ramadhan?”. Lalu beliaupun memecah gelas-gelas itu. (Majmu'fatawa Ibnu Taimiyah)

Riwayat di atas memperlihatkan bagaimana ketidaksukaan Abu Bakar terhadap puasa Rajab yang tidak disyariatkan. Andaikan puasa Rajab adalah sesuatu yang disyariatkan, maka sungguh Abu Bakar akan mengajarkannya pada keluarganya, bukan bertindak yang sebaliknya sebagaimana Hadist di atas.

Demikian pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga menunjukkan ketidaksukannya terhadap puasa Rajab.

مصنف ابن أبي شيبة (2/ 513)

عن خرشة بن الحر قال : ( رأيت عمر يضرب أكف المترجبين حتى يضعوها في الطعام ويقول : كلوا فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية ) (أحمد)

Dari Kharasyah bin Hurr dia berkata, “aku melihat Umar memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab hingga mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan. Umar berkata, ‘makanlah karena Rajab hanyalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah”.

Riwayat di atas dishohihkan oleh Al Albani. Beliau menjelaskannya dalam kitab beliau Irwa-ul Ghalil sebagai berikut.

إرواء الغليل (4/ 113)

روي عن أحمد عن خرشة بن الحر قال : ( رأيت عمر يضرب أكف المترجبين حتى يضعوها في الطعام ويقول : كلوا فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية ) ) . ص 230 صحيح . وليس هو في (المسند) للامام أحمد فهو في بعض كتبه الاخرى التي لم تصل إلينا وقد أخرجه ابن أبي شيبة في (المصنف) ( 2 / 182 / 2 ) : أبو معاوية عن الاعمش عن وبرة بن عبد الرحمن عن خرشة بن الحر به . قلت : وهذا سند صحيح

Pada riwayat di atas, ketika itu Umar menjabat sebagai khalifah, karena itu beliau menggunakan kekuasaannya untuk mengoreksi tindakan-tindakan yang beliau pandang menyalahi hukum syara’. Beliau memukul tangan orang-orang yang berpuasa di bulan Rajab hingga orang-orang tersebut meletakkan makanan di tangan mereka pada makanan (berbuka). Beliau menyatakan bahwa Rajab hanyalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah. Perlakuan beliau ini menunjukkan beliau tidak suka dengan puasa Rajab khusus.

Demikian pula dengan anaknya, yakni Abdullah bin Umar juga menunjukkan ketidaksukaannya terhadap puasa Rajab. Abdullah bin Umar termasuk shahabat yang kredibel. Dalam Mushannaf ibnu Abi Syaibah dinyatakan sebagai berikut.

حدثنا*[1] وكيع عن عاصم بن محمد عن أبيه قال كان ابن عمر إذا رأى الناس وما يعدون لرجب كره ذلك (مصنف ابن أبي شيبة)

Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Ashim bin Muhammad dari ayahnya dia berkata, “apabila ibnu Umar melihat orang-orang dan apa yang mereka persiapkan untuk puasa Rajab maka beliau membenci hal itu”.

Abu Bakrah juga demikian, beliau menunjukkan ketidaksukaannya terhadap puasa Rajab. Beliau adalah seorang shahabat yang dikenal meriwatkan Hadist tentang keharaman wanita menjadi hakim. Ketidaksukaan beliau terhadap puasa Rajab dijelaskan dalam riwayat Ahmad berikut.

عن أبى بكرة : ( أنه دخل على أهله وعندهم سلال جدد وكيزان فقال : ما هذا ؟ فقالوا : رجب نصومه فقال : أجعلتم رجب رمضان ؟ ! فأكفا السلال وكسر الكيزان) (أحمد في إرواء الغليل)

Dari Abu bakrah bahwasanya dia masuk menemui keluarganya dan di sisi mereka terdapat keranjang-keranjang baru dan gelas-gelas. Beliau berkata, “apa ini?”. Mereka menjawab, “ Rajab, dan kami akan mempuasainya (berpuasa padanya)”. Beliau berkata, “apakah kalian akan menjadikan Rajab seperti Ramadhan?” lalu beliau menumpahkan keranjang-keranjang itu dan memecahkan gelas-gelas tersebut.

Demikian pula shahabat Anas bin Malik, diriwatkan bahwa beliau menunjukkan ketidaksukaannya terhadap puasa Rajab. Dijelaskan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah bahwa beliau berkata sebagai berikut.

حدثنا وكيع عن يزيد مولى الصهباء عن رجل قد سماه عن أنس قال لا يكون اثنينيا ولا خميسيا ولا رجبيا. (مصنف ابن أبي شيبة)

Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Yazid maulanya As Shahba’ dari seorang lelaki, dia melihat Anas berkata, “janganlah kalian menjadi istnainiyyan, jangan pula kalian menjadi khumaisiyyan, dan jangan pula kalian menjadi Rujaibiyyan”.

Makna istnainiyyan adalah orang yang mengkhususkan puasanya di hari senin, khumaisiyyan bermakna orang yang mengkhususkan puasanya di hari kamis. Sedangkan Rujaibiyyan bermakna orang yang mengkhususkan puasa Rajab. Shahabat Anas membenci ketiganya, termasuk Rujaibiyyan. Beliau secara tegas dan lugas tanpa menggunakan kalimat sindiran menyatakan, “jangan pula kalian menjadi Rujaibiyyan”.

Selain para shahabat ini, para ulama besar pun tidak menyukai puasa Rajab secara khusus. Diantaranya adalah Sa’ad bin Jubair. Beliau adalah salah seorang Tabi’in besar.

عن عُثْمَان بْن حَكِيمٍ الْأَنْصَارِيّ قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَب فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ (مسلم)

Dari Utsman bin Hakim Al Anshari dia berkata, aku bertanya Sa’ad bin Jubair tentang puasa Rajab , dan kami pada saat itu berada di bulan Rajab. Dia berkata, aku mendengar Ibnu Abbas r.a berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa terus hingga kami berkata beliau tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka terus hingga kami berkata beliau tidak pernah berpuasa”.

Maknanya, Rasulullah tidak pernah mengkhususkan puasa tertentu seperti puasa Rajab. Sebab suatu ketika beliau berpuasa, namun terkadang pula beliau tidak berpuasa. Ini bermakna Rasulullah tidak mengkhususkan puasa itu sebagai amalan sunnah puasa tertentu. Andai saja puasa Rajab adalah puasa tertentu yang disyariatkan maka tentu Rasulullah akan selalu terlihat berpuasa pada bulan Rajab, atau setidak-tidaknya sering terlihat berpuasa Rajab. Namun tidak demikian yang disaksikan oleh para shahabat berdasarkan riwayat Sa’ad bin Jubair. Imam ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ul fatawa juga menyatakan bahwa puasa Rajab secara khusus itu tidak ada dasarnya.

Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan bahwa puasa Rajab adalah aktivitas yang tidak didasari pada dalil-dalil yang shohih. Rasulullah dan para shahabat yang diridoi Allah juga tidak menyukai puasa Rajab. Begitupula ulama’-ulama’ besar lainnya. Padahal para shahabat tidak akan membenci sesuatu jika hal itu berasal dari Allah dan RasulNya. Ketidaksukaan para shahabat ini yang tidak ditentang oleh siapapun menunjukkan ijma’ mereka bahwa puasa Rajab secara khusus adalah amal yang tertolak. Lalu pertanyaannya, bagaimana sebenarnya pandangan yang benar tentang puasa Rajab?

Puasa Rajab Menurut Dalil Shohih

Bulan Rajab termasuk diantara empat bulan haram (suci). Islam mengakui adanya bulan haram. Dengan kata lain Islam memberi takrir tentang bulan haram. Karena sesungguhnya bulan haram telah dikenal di masa jahiliyyah, lalu setelah Islam turun, Islam mengakui adanya bulan haram. Kesimpulan ini didasarkan pada ayat berikut.

{إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ} [التوبة: 36]

Sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan dalam kitabullah, pada hari Dia menciptakan semua langit dan bumi, di antaranya terdapat empat yang suci.

Perincian empat bulan haram tersebut bisa difahami dari hadis Al Bukhari berikut.

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ (البخاري)

Dari Abu Bakrah r.a dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, waktu telah berputar sebagaimana bentuknya pada hari Allah menciptakan semua langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram (bulan suci). Tiga bulan berturut-turut yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab nya kabilah Mudhar yang terletak antara Jumada Tsani dan Sya’ban.

Rajabnya kabilah Mudharr yang dimaksud oleh Rasulullah adalah Rajab yang terletak antara Jumada Tsani dan Sya’ban. Karena selain Rajab kabilah Mudharr, dikenal pula istilah Rajabnya kabilah Rabi’ah, yakni bulan yang terletak antara Sya’ban dan Syawwal, yaitu Ramadhan. Namun yang dimaksudkan Rajab sebagai bulan haram atau bulan suci oleh Rasulullah adalah Rajabnya kabilah Mudharr, bukan Rajabnya kabilah Rabi’ah (Ramadhan).

Sehingga bisa disimpulkan bahwa bulan Rajablah yang termasuk bulan Haram atau disucikan oleh Allah (bukan bulan Ramadhan) sebagaiman tiga bulan yang lain yaitu Dzul Qo'dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Tentang puasa di bulan haram, satu-satunya Hadist shohih yang menjelaskan puasa di bulan haram (dimana bulan Rajab termasuk di dalamnya) adalah Hadist dari Mujibah Al Bahiliy berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا (أبو داود)

Dari Mujibah Al Bahiliyyah dari ayahnya atau pamannya, sesungguhnya dia datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia pergi. Lalu dia mendatangi nabi setahun kemudian, sementara telah berubah keadaannya dan bentuknya (rupanya), dia bertanya kepada Rasulullah, ‘wahai Rasulullah, apakah engkau mengenaliku?”. Rasulullah menjawab, “siapa engkau?”. Dia menjawab, “aku orang Bahiliy yang mendatangimu pada tahun pertama”. Rasul berkata, “mengapa engkau berubah sementara dahulu engkau baik bentuknya (rupanya)?”. Dia menjawab, “aku tidak memakan suatu makanan kecuali di malam hari semenjak aku berpisah denganmu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “kenapa engkau menyiksa dirimu sendiri?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “berpuasalah pada bulan shobr (Ramadhan) dan puasa sehari di setiap bulan”. Dia berkata, “tambahkanlah untukku, sesungguhnya aku ini memiliki kekuatan”. Rasul berkata, “berpuasalah dua hari”. Dia berkata, “tambahkanlah untukku”. Rasulullah berkata, “berpuasalah tiga hari”. Dia berkata, “tambahkanlah untukku”. Rasulullah bersabda, “berpuasalah di antara bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah, berpuasalah di antara bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah, berpuasalah di antara bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah”. Beliau bersabda dengan ketiga jarinya lalu beliau menghimpunnya dan melepaskannya.

Hadist tersebut di atas mengisahkan tentang ayah atau paman dari Mujibah Al Bahiliy. Dikisahkan bahwa dia menemui Rasulullah dan ia pergi, lalu ia kembali menemui Rasulullah setahun kemudian dengan keadaan yang berbeda dari keadaan sebelumnya. Pada pertemuan keduanya ini, tubuhnya tampak lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Ia menyatakan bahwa hal itu terjadi karena ia selalu berpuasa semenjak berpisah dengan Rasulullah. Maknanya ia selalu berpuasa selama setahun penuh, tidak terkecuali puasa Rajab. Namun Rasulullah mengkritik aktivitasnya itu, tidak malah memujinya. Rasulullah menyebut bahwa ia telah menyiksa dirinya dengan selalu berpuasa sebulan penuh selama setahun. Lalu Rasulullah memberi saran padanya agar berpuasa sebulan penuh hanya pada bulan Ramadhan, sedangkan di bulan lainnya cukup berpuasa sehari saja sebagai amalan sunnah. Namun ia merasa kuat untuk melakukan yang lebih dari itu sehingga ia menginginkan tambahan puasa sunnah, maka Rasulullah menambah menjadi dua hari setiap bulan. Namun ia merasa masih kuat dengan hal itu sehingga minta tambahan lagi, maka Rasulullah memberi saran padanya untuk berpuasa tiga hari setiap bulan. Namun tetap saja ia masih merasa kuat untuk melakukan yang lebih dari itu, maka Rasulullah memberi saran untuknya agar berpuasa sunnah di bulan haram. Yakni bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, dengan catatan tidak mengistiqomahkannya. Beliau bersabda, “berpuasalah di bulan haram lalu tinggalkanlah” sebanyak tiga kali. Artinya, kadang-kadang berpuasalah pada bulan haram lalu kadang-kadang tinggalkanlah. Demikian seterusnya hingga terlihat tidak istiqomah melaksanakannya. Hal ini menjadi indikasi bahwa tidak ada puasa khusus pada bulan khusus kecuali pada bulan Ramadhan. Rasulullah merekomendasikan sunnah berpuasa di bulan Rajab dalam kapasitas Rajab sebagai bulan haram seperti bulan haram lainnya. Sehingga tidak ada puasa Rajab secara khusus, yang ada hanyalah puasa sunnah di setiap bulan haram.

Shalat Raghaib dan Doa di Bulan Rajab

Selain puasa Rajab, ada pula sebagian masyarakat yang mengadakan ritual-ritual khusus bulan Rajab seperti shalat raghaib. Namun sebagaimana tidak ada puasa khusus di bulan Rajab, tidak ada pula syariat shalat khusus di bulan Rajab. Berikut ini keterangan dari Fatawa Al Azhar tentang shalat khusus bulan Rajab.

ومن الأحاديث غير المقبولة فى فضل صلاة مخصوصة فيه "من صلى المغرب فى أول ليلة من رجب ثم صلى بعدها عشرين ركعة، يقرأ فى كل ركعة بفاتحة الكتاب وقل هو الله أحد مرة ويسلم فيهن عشر تسليمات حفظه الله فى نفسه وأهله وماله وولده ، وأجير من عذاب القبر، وجاز على الصراط كالبرق بغير حساب ولا عذاب " وهو حديث موضوع

Termasuk Hadist yang tidak bisa diterima tentang keutamaan shalat khusus pada bulan Rajab yakni riwayat , ”barang siapa yang shalat maghrib di awal malam bulan Rajab kemudian shalat 20 rakaat sesudahnya dengan membaca fatihah di setiap rakaat, diikuti qul huwallahu ahad satu kali lalu salam sebanyak sepuluh kali salam (salam tiap dua rakaat) maka Allah akan menjaganya, menjaga keluarganya, hartanya serta anaknya. Ia dijauhkan dari siksa kubur, dan dia akan melewati shirotol mustaqim seperti kilat tanpa hisab dan tanpa azab”.Ini adalah hadis palsu. (Fatawa Al Azhar)

Berdasarkan keterangan dalam Fatawa Al Azhar di atas, riwayat tersebut yang menjelaskan tentang shalat khusus bulan Rajab adalah Hadist maudhu’ (palsu). Karena itu tidak sah menjadikannya sebagai dalil dalam beramal.

Demikian pula ziarah-ziarah kubur yang biasa dilakukan di bulan Rajab, juga tidak ada dasarnya.

Adapun doa khusus di bulan Rajab yang masyhur di kalangan masyarakat yaitu doa yg berbunyi:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan

Maka mereka menyangka doa tersebut adalah doa Rasulullah didasarkan pada Riwayat berikut:

حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَب قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ (أحمد)

Kami diberitahu oleh Abdullah, kami diberitahu oleh Ubaidullah bin Umar dari Zaidah bin Abi Ar-Ruqad dari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik dia berkata, “nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada bulan Rajab beliau berdoa, ‘ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan berilah kami berkah di bulan Ramadhan’. Beliau menyebut malam jumat sebagai Gharra' dan hari jumat sebagai Azhar.

Berdasarkan Hadist di atas, doa berikut ini sering dipanjatkan oleh sebagian masyarakat untuk meminta keberkahan pada bulan Rajab :

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan berilah kami berkah di bulan Ramadhan

Pada riwayat At Thabarani, lafadznya agak sedikit berbeda sebagai berikut:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan

Hanya saja, Hadist tersebut di atas tidak boleh dijadikan dalil sebab terdapat seorang perawi dalam sanadnya yang bernama Zaidah bin Abi Ar-Ruqqad. Al Bukhari menyebut Zaidah bin Abi Ar-Ruqqad sebagai munkarul Hadist (Munkar hadisnya). Predikat munkarul Hadist adalah predikat tertinggi bagi orang yang tidak diterima Hadistnya berdasarkan ijtihad imam Al Bukhari. Para kritikus Hadis sepakat menyatakan ketidakhalalan mengambil suatu hadits dari seorang Perawi jika Al Bukhari menilainya sebagai munkarul Hadist.

Dengan demikian, tidak ada doa khusus yang diajarkan oleh nabi yang sunnah diucapkan pada bulan Rajab. Menyatakan bahwa doa sebagaimana lafadz di atas adalah doa yang diajarkan oleh nabi adalah sebuah kedustaan. Tidak halal seseorang mengucapan kedustaan atas nama nabi.

Namun demikian, jika doa tersebut diucapkan dalam rangka doa, artinya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah maka mubah saja untuk dilakukan. Karena hukum berdoa apapun asalkan isinya ma’ruf tidaklah tercela. Yang tidak boleh adalah berdoa dengan lafadz di atas dengan menisbatkannya pada Rasulullah lalu menganggapnya sunnah, atau menyatakan bahwa doa itu diajarkan oleh Rasulullah untuk keberkahan. Namun untuk lebih hati-hatinya, jika seseorang menginginkan kebaikan untuknya dari Allah maka tidak sepatutnya ia mengkhususkan keberkahan di bulan Rajab.

Sungguh pengetahuan tentang ilmu agama sangat penting sebelum amal. Ilmu agama membuat orang tidak tersesat dalam beramal. Tidak benar mengejar banyaknya amal namun melupakan benarnya amal. Karena Allah hanya menerima amal yang benar, bukan amal yang sesat meskipun banyak. Hanya amal yang Ia tunjukkanlah yang diridhaiNya, bukan amal yang dikarang manusia.

{قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا} [الكهف: 103، 104]

103. Katakanlah, "Maukah kalian Kami beritahu tentang orang-orang yang paling merugi amalnya (perbuatannya)?"

104. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Semoga bermanfaat dalam beramal.

Wallahu a’lam.

* [1] Haddastana dalam riwayat hadist bermakna bahwa hadist tersebut diperoleh dengan Sama’ (mendengar) bersama yang lain (mendengar dalam majelis). Jika sanadnya berbunyi Haddastani, itu bermakna hadist tersebut diperoleh dengan sama’ sendirian, bukan dalam majelis yang dihadiri banyak orang. Jika sanadnya berbunyi أَخْبَرَنَا Akhbarona, itu bermakna sebuah hadist diperoleh dengan Qira'ah (membaca) dalam majelis lalu dikoreksi oleh syaikh. Berbeda lagi dengan أَنْبَأَنَا Anbaana, ini bermakna sebuah hadist diperoleh dengan ijazah.
Share this article :
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
 
Support : Creating Website Copyright © 2011. DAAR AL-ARQOM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger